
JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Rangkap jabatan yang terjadi dalam struktur Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dinilai berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan mengancam kepercayaan investor.
Hal itu diungkapkan oleh sejumlah pengamat hukum dan ekonomi, menyusul penunjukan sejumlah pejabat negara dalam kepengurusan Danantara.
Sebagaimana diketahui, Presiden Prabowo Subianto resmi menunjuk Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Perkasa Roeslani sebagai Kepala Badan Pelaksana atau Chief Executive Officer (CEO) Danantara.
Sementara itu, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dony Oskaria ditunjuk sebagai Chief Operation Officer (COO) di bidang operasional.
Selain itu, Menteri BUMN Erick Thohir menjadi Ketua Dewan Pengawas (Dewas) Danantara dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai anggotanya.
Potensi Moral Hazard dan Tantangan Kepercayaan Investor
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi, Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho, menilai Danantara akan menghadapi tantangan besar dalam membangun kepercayaan investor. Menurutnya, potensi moral hazard dapat muncul karena pengurus Danantara masih menjabat sebagai pejabat publik.
“Minimal, pejabat publiknya bisa mengundurkan diri dari pemerintahan terkait. Itu akan menjadi sinyal kuat bahwa Danantara dikelola secara independen dan profesional,” kata Andry dalam diskusi virtual bertajuk “Danantara: Bagaimana dan Untuk Siapa?”, Senin (24/2/2025).
Andry juga menekankan bahwa investor akan tertarik jika pengelola Danantara memiliki latar belakang kuat dalam investasi tanpa terafiliasi kepentingan politik. Selain itu, evaluasi kinerja yang jelas dalam setahun pertama menjadi kunci keberhasilan.
Berpotensi Melanggar UU Kementerian Negara
Sementara itu, pengamat hukum dan pembangunan, Hardjuno Wiwoho, mengingatkan bahwa rangkap jabatan dalam tubuh Danantara berpotensi melanggar Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yang menyatakan bahwa menteri dilarang merangkap jabatan.
“Kalau baca UU Nomor 39 Tahun 2008 itu, menteri dilarang rangkap jabatan apa pun, karena menteri jabatan publik,” kata Hardjuno di Surabaya, Selasa (25/2/2025).
Hardjuno menegaskan bahwa desakan agar para pejabat mundur dari jabatannya bukan karena meragukan kompetensi mereka, tetapi agar mereka lebih fokus dalam mengelola investasi Danantara yang bernilai fantastis, yaitu US$ 20 miliar atau sekitar Rp 360 triliun.
“Modal Danantara berasal dari APBN, di mana 70 persen berasal dari pajak yang dipungut dari rakyat. Jadi tidak main-main. Demi kepentingan rakyat, sebaiknya mereka mundur,” tegas Hardjuno.
Tantangan Menuju Independensi dan Profesionalisme
Para pengamat menilai, independensi dan profesionalisme pengurus Danantara menjadi kunci untuk membangun kepercayaan investor dan memaksimalkan keuntungan dari investasi yang dikelola. Oleh karena itu, perlu langkah tegas dalam menghindari potensi konflik kepentingan, termasuk mempertimbangkan pengunduran diri dari jabatan publik yang tengah diemban.
Seiring perjalanan Danantara sebagai sovereign wealth fund (SWF) baru di Indonesia, publik akan terus mengawasi bagaimana lembaga ini mampu menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana investasi yang bersumber dari APBN.