Beranda Edukasi Akademia FH UNS-Mafindo Bahas Marketplace Fotografi, Pengguna dan Fotografer FotoYu Harus Saling Melindungi

FH UNS-Mafindo Bahas Marketplace Fotografi, Pengguna dan Fotografer FotoYu Harus Saling Melindungi

Dosen Fakultas Hukum UNS, Dr Adriana Grahani, berbicara dalam forum Diskusi Publik dengan tema “Marketplace Fotografi dan Hak Privasi di Ruang Publik” di Kampus 3 FH UNS, Kentingan, Jumat (28/2/2025).

SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM –Fotografer dan konsumen marketplace fotografi seperti FotoYu sebaiknya duduk bersama membahas etika mengambil gambar di tempat-tempat publik. Hal ini untuk mencegah rasa tidak nyaman atau bahkan pelanggaran privasi objek foto. Demikian salah satu hal yang mengemuka dalam diskusi publik bertitel “Marketplace Fotografi dan Hak Privasi di Ruang Publik”, yang diadakan Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UNS dan P3KHAM LPPM UNS bekerja sama dengan Mafindo Soloraya, Jumat (28/2), di Aula Gedung 3 Kampus Fakultas Hukum UNS. Potensi penyalahgunaan data pribadi juga menjadi bahasan tersendiri dalam diskusi tersebut.

FotoYu merupakan marketplace foto berbasis AI yang menghubungkan fotografer dengan pengguna lewat teknologi pengenalan wajah, untuk memudahkan pencarian dan pembelian foto pribadi dari berbagai acara. Maraknya pengguna FotoYu, tak lepas dari meningkatnya kebutuhan masyarakat yang ingin memamerkan dokumentasi aktivitas olahraga di media sosial. Dalam perkembangannya, muncul keresahan terkait privasi subjek foto dan juga keamanan data pribadi.

Hal ini diungkapkan Erwina Tri S, pegiat literasi digital dari Mafindo yang juga seorang pelari pemula. “Saya juga Yuser di FotoYu. Awalnya senang saja ya, karena sudah ada fotografer yang membantu mengabadikan momen lari saya. Namun makin ke sini saya kok agak kepikiran soal data pribadi (foto) saya di FotoYu,” ujar Erwina dalam diskusi publik yang dibuka secara resmi oleh Dekan Fakultas Hukum UNS, Dr. Muhammad Rustamaji, S.H., M.H dan dihadiri seratusan dosen dan mahasiswa.

Dia menambahkan, cara menggunakan FotoYu memang sangat mudah. Tiap foto yang diunggah fotografer akan ditutup dengan watermark. Konsumen foto, yang kemudian disebut Yuser hanya perlu memencet tombol “Ya” jika foto tersebut memang foto dirinya, dan tombol “Bukan” jika itu memang bukan. Setelah Yuser membayar, foto beresolusi tinggi tanpa watermark segera dikirim paling lambat dalam 2x 24 jam.

“Yang menurut saya masalah, ternyata Yuser bisa dengan mudah membeli foto yang bukan dirinya,” lanjut Erwina. Dalam “Cara Kerja” platform Fotoyu disebutkan “secara etis, kamu (Yuser) hanya mengonfirmasi jika foto itu benar-benar kamu, dan menolak foto yang bukan kamu.” Menurut Erwina, hal itu rentan terjadi penyalahgunaan konten oleh orang yang tidak bertanggung jawab. “Untuk eksperimen, bahkan saya menjajal membeli foto yang bukan wajah saya dan berhasil.”

Niken Satyawati, M.I.Kom, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Karanganyar dalam kesempatan tersebut mengatakan, “Ini fenomena media baru yang menarik, di mana masyarakat bisa bertransaksi langsung dengan fotografer dalam sebuah aplikasi. FotoYu menjadi platform yang memfasilitasi keinginan pelari untuk eksis di medsos dengan foto-foto berkualitas, di saat yang sama memberi peluang bagi fotografer untuk mencari cuan,” ujar Niken. Meski demikian, lanjut Niken, tidak dipungkiri ada orang-orang yang tidak senang difoto di area publik. Di sinilah potensi masalahnya.

Potensi Masalah Hukum
Adalah Dr Adriana Grahani Firdausy, dosen Fakultas Hukum/Peergroup P3KHAM LPPM UNS yang mengamati fenomena tersebut dari sisi hukum. Menurut dia, meski seorang fotografer bekerja di area publik, tidak serta merta boleh mengabaikan kenyamanan orang lain. “Hak pribadi atau privacy right sebagai sebuah hak yang melekat pada diri. Setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Ini berarti bahwa, ketika seseorang merasa terganggu dengan hadirnya fotografer di area publik, bisa jadi indikasi ada privasi yang dilanggar.”

Belum lagi tentang sebuah foto tergolong data pribadi. “Jika memang foto bisa dibeli oleh orang lain yang bukan pemilik wajah, hati-hati saja, bisa jadi ke depan akan ada masalah hukum yang menjerat fotografer karena penyalahgunaan data pribadi,” lanjut Adriana.

Audiens mendengarkan dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Karanganyar, Niken Satyawati, M.I.Kom yang berbicara dalam forum Diskusi Publik dengan tema “Marketplace Fotografi dan Hak Privasi di Ruang Publik” di Kampus 3 FH UNS, Kentingan, Jumat (28/2/2025).

Menanggapi tentang orang yang tidak suka difoto, Irzan O, seorang kreator FotoYu dengan akun @ideapicture mengatakan, subjek foto bisa mengajukan keberatan dan meminta kreator untuk menghapus. “Kalau memang ada request seperti itu, fotografer harus mengiyakan. Saya beberapa kali melayani permintaan tersebut,” ujar dia. Meski demikian, soal etika ini Irzan mengaku belum tentu semua kreator menerapkan hal yang sama.

Edbert Wirastomo, pelari dari komunitas Sparko Solo mengaku memilih untuk menghindari area publik yang dipadati fotografer, jika memang tidak sedang ingin difoto. Meski demikian ia mengusulkan tanda khusus yang bisa dipakai pelari yang tidak ingin difoto. “Mungkin bisa pakai stiker di kaos, atau pita di lengan. Namun tentu saja itu hanya bisa berlaku jika sudah ada kesepakatan dengan fotografer.”

Forum diskusi kali ini bersepakat mendorong pembentukan semacam paguyuban kreator FotoYu di Solo. “Para fotografer perlu membuat paguyuban yang di dalamnya bisa dibahas semacam aturan main terkait etika. Perlu juga membuka diskusi dengan komunitas pelari, pegiat literasi digital juga ahli hukum, untuk menyepakati aturan main yang pada akhirnya dapat saling melindungi kepentingan dan kenyamanan baik itu kreator maupun orang-orang yang foto. Bukan manusia untuk hukum, tetapi hukum untuk manusia dengan marwah saling melindungi dan menjaga,” tandas Adriana. (Ali)