GEDUNG Wayang Orang (GWO) Sriwedari, salah satu ikon budaya di Kota Solo, tak luput dari perhatian mendiang HM Lukminto. Meskipun bukan kelahiran Solo, kecintaannya terhadap kota ini begitu mendalam, bahkan melebihi banyak orang yang lahir dan besar di sana.
Kecintaan Lukminto tidak hanya sebatas pada kotanya, tetapi juga pada kekayaan budayanya. Salah satu wujud nyata kepeduliannya adalah inisiatifnya dalam merenovasi Gedung Wayang Orang Sriwedari. Bersama Kapolda Jawa Tengah saat itu, Irjen Alex Bambang Riatmodjo, ia turut mempelopori upaya pelestarian gedung yang menjadi salah satu pusat seni pertunjukan wayang orang tersebut.
“Wayang orang adalah warisan budaya leluhur. Sebagai generasi penerus, kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikannya,” ujar Lukminto kala itu.
Dengan renovasi tersebut, Lukminto berharap Gedung Wayang Orang (GWO) Sriwedari bisa kembali eksis dan menarik minat masyarakat. Ia mengenang masa-masa ketika pertunjukan wayang orang hanya ditonton oleh lima hingga tujuh orang, sebuah kondisi yang menurutnya sangat memprihatinkan. Karena itu, ia mengajak seluruh masyarakat, terutama warga Solo, untuk terus melestarikan kesenian wayang orang, bukan justru beralih pada tontonan modern yang semakin mendominasi.
Menurutnya, kondisi GWO sebelum direnovasi sangat memprihatinkan. Setelah mengalami perbaikan, ia berharap gedung tersebut bisa menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk kembali menikmati pertunjukan wayang orang yang semakin langka. Ia juga menilai bahwa kondisi gedung kini jauh lebih baik, lebih bersih, dan fasilitasnya, termasuk kamar mandi, menjadi lebih nyaman.
Kecintaan Lukminto terhadap wayang rupanya telah tumbuh sejak kecil. Ia sering menonton pertunjukan wayang di kampung halamannya dan begitu larut dalam ceritanya. Ia bahkan mengenang sebuah kejadian ketika dirinya kecil, di mana ia pernah tertidur di lokasi pertunjukan hingga pagi, membuat ibunya kebingungan mencarinya.
Hingga dewasa, kecintaan Lukminto terhadap wayang tak pernah luntur. Setiap kali merayakan hari ulang tahun pabriknya, ia selalu menggelar pertunjukan wayang. Salah satu tokoh pewayangan yang paling ia idolakan adalah Punokawan. Sebelum masuk Islam pada tahun 1994, ia bahkan hampir setiap bulan menyempatkan diri menonton wayang di Gunung Kawi. Suhamdani | Dokumen Joglosemar