Kepala Sekolah SD Negeri Gayam 05 Kabupaten Sukoharjo
ERA globalisasi membawa perubahan besar dalam dunia pendidikan. Sekolah dituntut untuk membekali peserta didik dengan keterampilan abad 21. Kurikulum Merdeka, sebagaimana diatur dalam Permendikbud No. 5 Tahun 2022, menekankan pentingnya berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, dan komunikasi sebagai bagian dari kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik.
Di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, berpikir kritis menjadi salah satu keterampilan yang paling dibutuhkan agar peserta didik mampu menghadapi tantangan zaman dengan lebih baik.
Berpikir kritis tidak hanya sebatas kemampuan menghafal atau memahami informasi, tetapi juga melibatkan kemampuan menganalisis, mengevaluasi, dan menyusun argumen berdasarkan bukti yang ada.
Wagner (2010) dan Andone (2011) menegaskan bahwa berpikir kritis mencakup aspek analisis, interpretasi, dan pemecahan masalah, yang semuanya diperlukan dalam pembelajaran, terutama pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Dalam konteks pendidikan sains, kemampuan berpikir kritis sangat erat kaitannya dengan metode ilmiah.
Sujana (2009) menyebutkan bahwa IPA merupakan hasil dari aktivitas manusia dalam memahami fenomena alam melalui pengamatan, percobaan, dan analisis data. Oleh sebab itu, pembelajaran IPA di sekolah dasar harus mampu mendorong peserta didik untuk berpikir kritis dalam memahami berbagai konsep ilmiah.
Sayangnya, berbagai penelitian menunjukkan bahwa keterampilan berpikir kritis peserta didik di tingkat sekolah dasar masih tergolong rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Ayu Indri dkk (2015) di beberapa SD di Kaliuntu dan penelitian Dwi Wiji (2020) di SDN Paninggilan 01 Tangerang menunjukkan bahwa hasil belajar IPA peserta didik masih belum mencapai standar yang diharapkan.
Budiana (2013) bahkan menemukan bahwa indikator berpikir kritis dalam pembelajaran IPA belum mencapai 40%. Hal itu menunjukkan bahwa sebagian besar peserta didik masih kesulitan dalam mengembangkan pola pikir analitis. Kondisi tersebut diperburuk dengan metode pembelajaran yang masih didominasi oleh pendekatan konvensional, di mana guru lebih banyak berceramah sementara peserta didik hanya menerima informasi secara pasif.
Di SDN Gayam 05, misalnya, pembelajaran IPA masih berpusat pada guru dengan keterlibatan peserta didik yang minim. Akibatnya, hasil belajar mereka dalam mata pelajaran IPA cenderung rendah dan belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).
Untuk memahami lebih dalam permasalahan ini, dilakukan penelitian deskriptif kuantitatif terhadap peserta didik kelas IV SDN Gayam 05 Sukoharjo. Sebanyak 13 peserta didik dipilih sebagai sampel menggunakan teknik purposive sampling. Penelitian ini menggunakan tes esai sebagai instrumen pengukuran, di mana soal-soal yang diberikan dirancang untuk menguji keterampilan berpikir kritis peserta didik dalam memahami konsep cahaya dan sifatnya. Setiap jawaban yang diberikan dianalisis berdasarkan indikator berpikir kritis yang telah ditetapkan, mencakup kemampuan memberikan penjelasan, menarik kesimpulan, serta menyusun strategi pemecahan masalah.
Hasil penelitian ini menegaskan bahwa pembelajaran IPA di sekolah dasar perlu diarahkan untuk lebih mengembangkan keterampilan berpikir kritis peserta didik. Model pembelajaran yang lebih interaktif, seperti pendekatan inkuiri ilmiah, perlu diterapkan agar peserta didik terbiasa berpikir dan bekerja secara ilmiah.
Dengan cara ini, mereka tidak hanya memahami konsep IPA secara lebih mendalam, tetapi juga mampu menerapkan pola pikir kritis dalam kehidupan sehari-hari. Jika perubahan dalam metode pembelajaran ini dapat dilakukan secara konsisten, maka peserta didik akan lebih siap menghadapi tantangan masa depan dengan kemampuan berpikir yang lebih tajam dan analitis. [*]
Mila Kartika Sari
Kepala Sekolah SD Negeri Gayam 05 Sukoharjo