JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Nomor M/3/HK.04.O0/III/2025 tentang Pemberian Bonus Hari Raya Keagamaan 2025 bagi Pengemudi dan Kurir pada Layanan Angkutan Berbasis Aplikasi tidak memiliki kepastian hukum yang mengikat.
Penilaian tersebut disampaikan oleh analis kebijakan transportasi, Azas Tigor Nainggolan. Menurutnya, SE tersebut bukanlah solusi atas ketidakpastian hukum bagi pengemudi ojek online (ojol).
“Isi SE ini hanya mengimbau dan mengubah dari Tunjangan Hari Raya (THR) menjadi Bonus Hari Raya (BHR). Pemerintah sadar betul bahwa mereka tidak bisa memaksa aplikator memberikan THR, sehingga hanya sebatas imbauan,” ujar Tigor kepada Tribunnews, Selasa (11/3/2025).
Ia menilai, perubahan istilah dari THR ke BHR merupakan pengakuan tidak langsung bahwa ojek online seharusnya diakui dalam undang-undang transportasi.
Surat Edaran Tak Memiliki Kekuatan Hukum
Tigor juga mengkritik penggunaan SE sebagai dasar kebijakan. Menurutnya, SE bukanlah regulasi hukum yang memiliki kekuatan mengikat karena tidak termasuk dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia.
“Surat edaran hanya berlaku untuk internal instansi yang mengeluarkannya. Sementara SE Menaker ini ditujukan kepada pengusaha aplikasi, yang jelas bukan bagian dari instansi pemerintah,” tegasnya.
Dalam sistem hukum Indonesia, peraturan perundang-undangan memiliki hierarki yang diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. SE tidak termasuk dalam hierarki tersebut, sehingga tidak bisa dijadikan dasar hukum yang mengikat.
Regulasi Hukum bagi Ojek Online Diperlukan
Lebih lanjut, Tigor menilai bahwa permasalahan utama bukan sekadar pemberian THR atau BHR, tetapi ketidakpastian hukum bagi bisnis layanan transportasi berbasis aplikasi di Indonesia.
Saat ini, ojek online tidak diakui sebagai alat transportasi umum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Demikian pula, aplikator hanya dianggap sebagai penyedia layanan digital, bukan perusahaan angkutan umum.
“Ketiadaan regulasi hukum membuat pemerintah tidak punya kewenangan untuk mewajibkan aplikator memberikan THR atau BHR. Akibatnya, kebijakan yang dikeluarkan hanya sebatas imbauan,” tambahnya.
Sebagai solusi, Tigor mengusulkan agar pemerintah segera membuat regulasi hukum yang mengatur bisnis ojek online secara jelas. Ia juga menyarankan agar SE Menaker Nomor M/3/HK.04.O0/III/2025 dicabut agar tidak menimbulkan kebingungan hukum dan merusak kredibilitas pemerintah.
“Carut-marut ini bukan hanya soal THR, tetapi soal kepastian hukum bagi para pengemudi dan kurir online. Pemerintah harus bertindak sebagai regulator yang melindungi rakyat, bukan sekadar mengeluarkan SE yang tidak mengikat,” tandasnya.
Imbauan Presiden Prabowo
Sementara itu, Presiden Prabowo Subianto mengimbau aplikator layanan transportasi online untuk memberikan THR kepada para pengemudi dan kurir, meski dalam bentuk bonus.
“Pemerintah mengimbau seluruh perusahaan layanan angkutan berbasis aplikasi untuk memberikan bonus hari raya kepada pengemudi dan kurir online dalam bentuk uang tunai, dengan mempertimbangkan keaktifan kerja,” ujar Prabowo dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (10/3/2025).
Menurutnya, saat ini ada sekitar 250.000 pengemudi dan kurir online yang aktif, sementara 1,5 juta lainnya berstatus pekerja paruh waktu. Namun, Prabowo belum bisa memastikan besaran dan mekanisme pemberian bonus tersebut karena masih perlu dibahas lebih lanjut.
“Untuk besaran dan mekanisme pemberian bonus hari raya ini, kita serahkan dan nanti akan diumumkan oleh Menteri Ketenagakerjaan melalui SE,” pungkasnya.