JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan tutupnya Sritex per 1 Maret 2025, menjadi momentum tepat untuk melengserkan Yassierli dan Immanuel Ebenezer dari jabatan Menaker dan Wamenaker.
Partai Buruh menilai Menteri Ketenagakerjaan dan Wakilnya gagal dalam menjalankan tugas mereka, terutama dalam mencegah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Said menegaskan bahwa keduanya tidak mampu menangani persoalan ini dengan baik, sehingga tidak layak menduduki jabatan strategis tersebut.
“Partai Buruh meminta agar Menteri dan Wakil Menteri Ketenagakerjaan dicopot. Mengurus Sritex saja tidak bisa, bagaimana bisa menangani persoalan ketenagakerjaan di seluruh Indonesia?” ujar Said dalam konferensi pers daring pada Minggu (2/3/2025).
Menurut Said, Presiden Prabowo Subianto sebelumnya telah menginstruksikan kementerian terkait untuk mengatasi potensi PHK di Sritex. Namun, Said menilai Yassierli dan Immanuel gagal melaksanakan amanah tersebut. Ia juga menuding bahwa mekanisme PHK yang dilakukan Sritex bertentangan dengan hukum karena tidak melalui tahapan perundingan bipartit maupun tripartit sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.
“PHK massal harus melewati perundingan antara perusahaan dan perwakilan pekerja. Yang terjadi justru pekerja diminta mengajukan PHK secara sukarela, tanpa adanya hasil notulensi perundingan yang diumumkan secara terbuka,” tambahnya.
Said juga mempertanyakan sikap Kementerian Ketenagakerjaan yang dinilai hanya memberi janji tanpa tindakan konkret. Ia meminta Yassierli dan Immanuel segera memanggil manajemen Sritex untuk menjelaskan secara transparan terkait mekanisme PHK dan besaran pesangon yang akan diterima para pekerja.
Hingga kini, lanjutnya, belum ada kejelasan mengenai kompensasi bagi sekitar 8.400 mantan pekerja Sritex yang kehilangan pekerjaan akibat kebangkrutan perusahaan tersebut. Ketidakpastian ini, menurut Said, mencerminkan kegagalan Menaker dan Wamenaker dalam menjalankan tugas mereka.
Sritex resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Semarang pada 23 Oktober 2024. Presiden Prabowo telah mengupayakan berbagai langkah penyelamatan, termasuk menginstruksikan empat kementerian—Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, dan Kementerian Ketenagakerjaan—untuk mencari solusi. Namun, tim kurator akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan operasional perusahaan dengan alasan keterbatasan modal, kebutuhan tenaga kerja, dan tingginya biaya produksi.
Koordinator Serikat Pekerja Sritex Group, Slamet Kaswanto, mengonfirmasi bahwa total pekerja yang terkena PHK dari empat perusahaan di bawah Sritex Group mencapai 10.665 orang hingga 26 Februari 2025. Keempat perusahaan tersebut adalah PT Sritex Sukoharjo, PT Bitratex Semarang, PT Sinar Panja Jaya Semarang, dan PT Primayuda Boyolali.
Vonis pailit terhadap Sritex dijatuhkan setelah perusahaan pemasok mereka, PT Indo Bharat Rayon, menggugat karena keterlambatan pembayaran utang sebesar Rp 101,31 miliar. Meski utang tersebut hanya 0,38 persen dari total kewajiban Sritex yang mencapai Rp 26,02 triliun, perusahaan tetap dinyatakan pailit setelah gagal memenuhi homologasi dengan para kreditor. Upaya banding yang diajukan ke Mahkamah Agung pun kandas setelah ditolak pada 18 Desember 2024.
Dengan kondisi ini, Partai Buruh menilai pemerintah gagal melindungi tenaga kerja dari dampak kebangkrutan Sritex. Mereka mendesak tindakan tegas terhadap Menaker dan Wamenaker agar kejadian serupa tidak terulang di industri lainnya.