Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Presiden Partai Buruh Sebut PHK Massal di Sritex Ilegal, Ini Sebabnya

Ribuan karyawan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) Sukoharjo, mulai membawa perlengkapan pribadi mereka dari tempat kerja setelah penyebaran formulir pemutusan hubungan kerja (PHK) pada Rabu (26/2/2025) kemarin. Kabar penutupan permanen itu pun semakin kuat setelah Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Dispenaker) Kabupaten Sukoharjo bertemu dengan perwakilan Manajemen Sritex pada Kamis (27/2/2025) | tribunnews

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap puluhan ribu karyawan di PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) sudah berlalu, meninggalkan para karyawan dalam ketidakpastian. Kini, mereka hanya bisa menunggu kejelasan nasib mereka ke depan.

Namun, Presiden Partai Buruh Said Iqbal menegaskan bahwa keputusan PHK yang dilakukan perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara tersebut merupakan tindakan ilegal.

Pernyataan tersebut disampaikan karena pihaknya menduga ada pelanggaran terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan yang dilakukan oleh manajemen PT Sritex.

“Partai Buruh dan KSPI menyatakan bahwa PHK terhadap sekitar 8.400 karyawan PT Sritex adalah ilegal dan bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan, baik yang diatur dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68 Tahun 2024 yang dimenangkan oleh Partai Buruh maupun dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” ujar Said Iqbal dalam konferensi pers daring, Minggu (2/3/2025).

Said Iqbal menjelaskan, ada sejumlah alasan yang membuat keputusan PHK ini dinilai cacat hukum. Salah satunya adalah tidak ditempuhnya mekanisme yang sesuai aturan sebelum PHK dilakukan.

“PHK terhadap ribuan bahkan mendekati puluhan ribu karyawan PT Sritex tidak didahului dengan mekanisme Bipartit dan tidak melalui tahapan Tripartit yang melibatkan pegawai perantara, dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sukoharjo,” katanya.

Padahal, menurut putusan Mahkamah Konstitusi, setiap perusahaan wajib menempuh mekanisme Bipartit sebelum memutuskan PHK. Perusahaan seharusnya mengadakan perundingan dengan serikat pekerja atau perwakilan pekerja untuk mencapai kesepakatan terkait hak-hak karyawan pasca-PHK.

“Dalam keputusan MK, mekanisme PHK harus dimulai dengan perundingan Bipartit yang disertai notulensi resmi. Sekarang, pertanyaannya, apakah ada notulen perundingan antara serikat pekerja PT Sritex dan manajemen perusahaan? Kalau tidak ada, berarti ini pelanggaran,” tegasnya.

Lebih lanjut, Said Iqbal menyebutkan bahwa dalam kasus PHK PT Sritex, karyawan justru diminta secara individual untuk “mendaftar” PHK, sesuatu yang menurutnya tidak sesuai dengan prosedur yang benar.

“PHK itu tidak bisa dilakukan dengan cara meminta karyawan ‘mendaftar’. Itu bukan prosedur yang sah,” imbuhnya.

Menurutnya, dalam notulensi yang seharusnya dibuat, harus ada penjelasan rinci mengenai alasan perusahaan mengalami kebangkrutan, nilai aset terakhir perusahaan, serta pihak yang bertanggung jawab membayar pesangon para karyawan.

“Semua orang tahu PT Sritex pailit, tetapi kenapa bisa pailit? Berapa nilai aset terakhir perusahaan? Siapa yang akan membayar pesangon karyawan? Apakah kurator atau manajemen lama?” ujar Said Iqbal.

Ia juga menyoroti dugaan intimidasi terhadap karyawan yang terkena PHK. Menurutnya, jika benar seluruh karyawan diminta mendaftar dan menandatangani surat PHK tanpa perundingan yang layak, maka ada indikasi karyawan dipaksa menerima keputusan tersebut tanpa mendapatkan kejelasan hak-haknya.

“Jika ada satu saja karyawan yang merasa haknya tidak dipenuhi, dia berhak menolak menandatangani surat PHK. Kalau semua langsung menandatangani, bisa jadi ada tekanan atau intimidasi,” tandasnya.

Sementara itu, PT Sritex secara resmi berhenti beroperasi sejak Sabtu (1/3/2025). Perusahaan kini berada di bawah pengelolaan kurator setelah dinyatakan pailit.

Dalam rapat kreditur, disepakati bahwa PT Sritex tidak dapat melanjutkan operasionalnya karena keterbatasan modal kerja, tingginya biaya produksi, serta kekhawatiran akan semakin besarnya kerugian.

Kurator selanjutnya akan mengeksekusi aset perusahaan, melakukan penaksiran harga bersama akuntan independen, dan melelang aset yang ada untuk melunasi utang.  

 

Exit mobile version