JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Pernyataan KSAD Jenderal TNI Maruli Simanjuntak soal pengangkatan Letkol Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet memicu kritik dari Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
Usman menyoroti bahwa pengangkatan Teddy bertentangan dengan Pasal 47 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang menyatakan bahwa prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Menurutnya, Teddy masih berstatus perwira aktif sehingga tidak memenuhi syarat untuk menduduki jabatan tersebut.
“Setidaknya ada dua hal yang menjadi masalah. Pertama, prajurit aktif hanya bisa menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun. Kedua, jabatan Sekretaris Kabinet tidak termasuk dalam daftar jabatan sipil yang boleh diisi oleh prajurit aktif,” kata Usman melalui unggahan di akun media sosialnya pada Jumat (14/3/2025).
Lebih lanjut, Usman juga membantah pernyataan Jenderal Maruli yang menyebut pengangkatan Teddy memiliki dasar hukum melalui Perpres Nomor 148 Tahun 2024. Ia menegaskan bahwa peraturan presiden tidak dapat mengesampingkan undang-undang yang memiliki kedudukan lebih tinggi dalam hierarki perundang-undangan.
“Perpres tidak bisa mengesampingkan UU TNI. Dalam hierarki hukum, aturan yang lebih rendah tidak bisa bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi (lex superior derogat legi inferiori),” jelasnya.
Usman juga merujuk pada TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, yang lebih tegas membatasi posisi jabatan sipil bagi anggota TNI aktif. Dalam Pasal 5 ayat (5) TAP MPR tersebut disebutkan bahwa anggota TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas militer.
Selain itu, Usman mengkritik penggunaan diksi “otak kampungan” oleh KSAD Maruli dalam merespons kritik publik terkait revisi UU TNI yang sedang dibahas di DPR. Menurutnya, pernyataan tersebut berpotensi menstigma suara kritis dengan konotasi negatif.
“Diksi ‘otak kampungan’ mengandung makna yang merendahkan. Kata ini menggambarkan seseorang yang dianggap terbelakang, kurang sopan santun, dan tidak terdidik. Apakah kosakata seperti ini yang diajarkan kepada anggota TNI?” tanya Usman.
Ia juga menyinggung bagaimana diksi tersebut bisa berkonotasi negatif terhadap masyarakat pedesaan. “Banyak kasus justru memperlihatkan bahwa orang-orang kota yang berdasi dan modernlah yang merusak,” katanya.
Di akhir pernyataannya, Usman menyampaikan pesan langsung kepada Jenderal Maruli dengan nada sindiran. “Saya lahir dan besar di Jakarta. Orang tua serta leluhur saya berasal dari kampung. Bagaimana dengan orang tua dan leluhur Jenderal? Sehat selalu, Jenderal.”