Beranda Umum Nasional Fanatisme terhadap Dedi Mulyadi Bahaya bagi Demokrasi

Fanatisme terhadap Dedi Mulyadi Bahaya bagi Demokrasi

Jokowi dan Dedi Mulyadi | Instagram | Kolase: Suhamdani

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM — Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Burhanuddin Muhtadi, mengingatkan masyarakat agar tidak terjebak sikap fanatik berlebihan kepada Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.

Menurut Burhanuddin, meskipun Dedi kini sangat populer dan memiliki jutaan pengikut di berbagai platform media sosial, ia tetap seorang pejabat publik yang tak luput dari kekeliruan.

“Pak Dedi itu pejabat publik, bukan nabi,” tegas Burhanuddin dalam program Gaspol Kompas.com, Minggu (6/7/2025).

Ia memaparkan, tingginya intensitas Dedi muncul di ruang publik lewat media sosial memang mengundang simpati, tetapi juga memperbesar peluang terjadinya pernyataan kontroversial yang bisa menimbulkan polemik.

Burhanuddin mencontohkan kebijakan Dedi Mulyadi yang sempat menuai sorotan, yakni mengirim siswa bermasalah ke barak militer. Kebijakan ini banyak dikritik, antara lain oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), aktivis hak asasi manusia, hingga Rocky Gerung.

Namun, ia menyayangkan respons sebagian pendukung Dedi yang justru menyerang balik para pengkritik. Baginya, sikap membela mati-matian setiap langkah tokoh tertentu justru membuka ruang munculnya kultus politik.

Baca Juga :  Sidang Ijazah Jokowi, Bonjowi Sebut UGM Lakukan Blunder: 505 Dokumen tapi Hanya 12 Bisa Dibaca

“Kalau kritik dianggap kebencian atau makar, ini berbahaya sekali. Kita sudah pernah mengalami hal serupa,” ujarnya.

Burhanuddin menilai tanda-tanda pengkultusan Dedi mulai terlihat, di mana sejumlah tokoh yang berseberangan pandangan diserang di media sosial. Ia menyebut, Gubernur Lemhannas, TB Ace Hasan Syadzily, bahkan sempat menjadi sasaran bully setelah mengkritik Dedi.

“Akhirnya banyak yang kapok untuk bicara,” ungkapnya.

Burhanuddin lantas mengingatkan pengalaman masa pemerintahan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi), yang menurutnya sempat memunculkan fenomena kultus politik. Ia menyinggung bagaimana sebagian pendukung Jokowi pernah menganggap sang presiden seolah-olah sosok suci.

“Waktu Pak Jokowi maju dari Gubernur Jakarta ke Presiden, bahkan sampai periode kedua, masih ada yang menyebut beliau seperti nabi. Pengkultusan seperti itu buruk buat demokrasi,” pungkas Burhanuddin.

Baca Juga :  Kepala Sekolah di Cilincing Meninggal Misterius di Sekolah, Polisi Lakukan Penyelidikan

Ia berharap masyarakat tetap kritis dan objektif menilai setiap kebijakan tokoh publik, agar demokrasi tidak terjebak pada pengkultusan individu.

“Demokrasi sehat kalau ruang kritik tetap ada,” tandasnya. [*] Berbagai sumber

 

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.