Beranda Umum Opini KUR Migran: Peluang Besar yang Tersendat di Meja Perbankan

KUR Migran: Peluang Besar yang Tersendat di Meja Perbankan

Ilustrasi pekerja migran | Pixabay
Arya Ariyanto, S.E., M.M,    Dosen Poltek “API” Yogyakarta

DI tengah upaya pemerintah mendorong penyerapan tenaga kerja dan peningkatan devisa negara, hadirnya program Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi calon Pekerja Migran Indonesia (PMI) semestinya menjadi angin segar. Melalui Keputusan Kepala BP2MI Nomor 72 Tahun 2022, negara telah membuka jalur pembiayaan legal dan aman bagi calon PMI agar mereka tidak lagi terjerat rentenir atau sistem pembiayaan informal yang mencekik.

Namun, dalam implementasinya, program ini justru tersendat di meja perbankan. Bukannya disambut sebagai solusi strategis, KUR Migran malah terkesan dihindari oleh banyak kalangan perbankan. Tidak sedikit bank, termasuk bank milik negara, yang menunjukkan kehati-hatian berlebihan atau bahkan sikap enggan untuk menyalurkan KUR Migran. Akibatnya, peluang besar ini gagal dimanfaatkan optimal. Sebuah ironi di tengah komitmen nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis sektor tenaga kerja.

Padahal, jika dibandingkan dengan sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), KUR Migran sebenarnya memiliki keunggulan. Pekerja migran yang sudah mendapatkan job order atau job letter memiliki kepastian kerja, kontrak yang jelas, dan nominal penghasilan yang terukur. Risiko gagal bayar bisa dibilang sangat kecil. Mereka tahu akan bekerja di mana, dalam bidang apa, berapa lama, dan menerima gaji dalam mata uang asing. Ini jelas berbeda dengan UMKM yang masih berhadapan dengan risiko pasar, cuaca, fluktuasi harga bahan baku, dan lainnya.

Yang menjadi penghalang justru adalah kerumitan administrasi dan prosedur perbankan yang terlalu normatif. Banyak calon PMI kesulitan memenuhi dokumen pembiayaan, meski secara prinsip mereka layak menerima KUR. Pendekatan administratif ini tidak selaras dengan realitas di lapangan yang dinamis dan penuh keterbatasan.

Hal ini menunjukkan adanya gap besar antara desain kebijakan dan kesiapan pelaksana di lapangan. Muncul pertanyaan mendasar: apakah dalam penyusunan regulasi ini, pihak BP2MI sudah melibatkan pemangku kepentingan dari sektor perbankan secara menyeluruh? Atau sebaliknya, kebijakan ini dilahirkan secara sepihak tanpa kajian menyeluruh atas kesiapan teknis dan psikologis lembaga keuangan?

Kementerian Ketenagakerjaan telah berkali-kali menegaskan pentingnya peran pekerja migran sebagai solusi konkret atas pengangguran struktural. Menteri Abdul Kadir Karding bahkan menyebut buruh migran sebagai kekuatan bangsa, bukan hanya karena sumbangsih devisa, tetapi juga karena dampak sosialnya bagi jutaan keluarga di desa-desa yang menggantungkan harapan pada anak-anak mereka yang bekerja di luar negeri.

Karena itu, sangat disayangkan bila kebijakan baik ini hanya mandek di meja birokrasi atau dihadang oleh ketidakpekaan sistem perbankan.

Pentingnya peran pekerja migran sebagai solusi konkret pengangguran telah ditegaskan oleh Menteri P2MI, Abdul Kadir Karding. Ia menyebut bahwa buruh migran tidak hanya menyumbang devisa besar, tetapi juga mengurai keruwetan pengangguran struktural di banyak keluarga. Dalam berbagai kesempatan, Karding mendorong agar penempatan PMI menjadi lebih mudah dan dibiayai lintas sektor.

Kontribusi nyata PMI terhadap perekonomian negara pun sudah sangat signifikan. Tahun 2024, remitansi PMI mencapai Rp 253,3 triliun, dikirimkan oleh sekitar 297.000 pekerja migran. Pemerintah menargetkan pada 2025 remitansi meningkat ke angka Rp 433,6 triliun seiring dengan peningkatan jumlah PMI hingga 425.000 orang  .

Sementara di sisi pengangguran, data BPS per Februari 2025 mencatat jumlah penganggur mencapai 7,28 juta orang (sekitar 4,76 % dari angkatan kerja), meskipun secara persentase turun dibanding Agustus 2024. Namun secara absolut, terjadi kenaikan sekitar 83 ribu orang dibanding Februari 2024. Tingginya jumlah pengangguran menunjukkan bahwa pembiayaan bagi PMI bisa menjadi salah satu solusi efektif penyerapan tenaga kerja.

Namun faktanya, bank masih menaruh keraguan besar terhadap skema pembiayaan ini. Hal ini memicu pertanyaan: apakah kebijakan KUR Migran dalam Keputusan BP2MI No. 72/2022 didukung dengan kajian kesiapan perbankan dari sisi teknis dan persepsi risiko?

Untuk menjembatani gap ini, kepala daerah memiliki peran strategis. Pemerintah daerah, terutama gubernur dan bupati/wali kota, harus lebih aktif. Bank-bank daerah atau lembaga keuangan yang berada di bawah pengawasan pemerintah daerah perlu dimobilisasi. Mereka dapat menjadi pelopor penyaluran KUR Migran yang lebih manusiawi dan realistis.

Langkah ini bukan hanya menyelamatkan masa depan pekerja migran, tetapi juga menyelamatkan ribuan keluarga dari jerat rentenir dan pembiayaan tak wajar. Bahkan, melalui pendekatan kolaboratif, lembaga pelatihan seperti Sun Marino Indonesia  serta perusahaan penempatan tenaga kerja (P3MI), siap menjadi mitra verifikasi dan pendampingan agar dana KUR disalurkan secara tepat sasaran dan bertanggung jawab.

Sudah saatnya BP2MI, pemerintah daerah, dan sektor perbankan duduk satu meja dan membicarakan langkah konkret. Jangan sampai regulasi yang sudah susah payah dibuat hanya menjadi dokumen indah yang tak berguna. Indonesia butuh kebijakan yang bisa berjalan, bukan sekadar ditulis. Dan pekerja migran, yang selama ini menjadi pahlawan devisa, layak mendapatkan akses pembiayaan yang adil, cepat, dan bermartabat. [*]

Penulis adalah dosen Poltek “API” Yogyakarta, sekaligus 
pemerhati ketenagakerjaan dan migrasi global. Aktif dalam pengentasan pengangguran pekerja migran dan pelatihan tenaga kerja terampil

 

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.