Judul : Nyai Teluh Braja (Manggalayuda Kraton Laut Kidul)
Penulis : Budi Sardjono
Penerbit: Diva Press
Terbit : Juni 2025
Tebal : 216 halaman
DI tangan Budi Sardjono, mitos bukan sekadar dongeng lama yang terpendam di dasar laut imajinasi. Melalui novel Nyai Teluh Braja, penulis menyajikan sebuah cerita yang renyah, lincah, dan sarat dengan kejutan naratif. Penulis cukup piawai mengajak pembaca menyelami lorong gelap yang menghubungkan dunia nyata dan dunia tak kasat mata.
Dengan gaya bahasa yang komunikatif dan mengalir, novel ini mempertemukan pembaca dengan Sam, tokoh utama sekaligus narator yang awalnya disangka berada di posisi orang ketiga, namun kemudian terungkap sebagai “aku” dari cerita itu sendiri. Sam bukan hanya tokoh sentral, melainkan juga jembatan antara dunia yang kasatmata dengan dimensi keempat yang penuh misteri dan aura mistis.
Konflik cerita ini bermula dari penampakan sinar kemerah-merahan yang melesat di angkasa, di atas lereng Gunung Ungaran, dan jatuh di sekitar Candi Gedongsongo. Kepercayaan masyarakat kala itu, cahaya tersebut menandakan ada sebuah peristiwa yang menyedihkan.
Benarkah di era zaman sekarang, kepercayaan tersebut masih bisa dipercaya? Rasa penasaran yang membucah itulah yang kemudian mendorong Sam, seorang jurnalis yang haus akan informasi, nekat berburu dan mencari tahu hingga ke lorong-lorong yang paling musykil.
Konflik dalam novel ini tidak sekadar tajam—ia menukik hingga ke lapisan terdalam psikologis dan spiritual tokohnya. Ketegangan demi ketegangan disusun dengan cermat, membuat pembaca enggan meletakkan buku sebelum menemukan jawab dari tiap teka-teki yang disodorkan.
Salah satu kekuatan utama dari novel ini adalah wawasan yang luas: mulai dari toponimi lokal, nama-nama tempat yang eksotis, hingga mitos yang dikemas dalam balutan modernitas. Budi Sardjono sukses menciptakan dunia yang akrab dan asing sekaligus—membuat pembaca seolah sedang menelusuri jejak-jejak gaib di tengah peradaban kontemporer.
Perpindahan dari dunia nyata ke alam supranatural digambarkan begitu halus dan meyakinkan. Tidak ada batas tegas antara realitas dan mitos; yang ada hanyalah satu narasi utuh yang berdenyut dengan ritme misteri dan magi. Makhluk tak kasat mata pun diberi ruang untuk menunjukkan sisi manusiawinya: bisa berkomunikasi, bersahabat, bahkan melakukan kebaikan.
Sam, dalam novel ini bukan sekadar pencerita, namun sebagai tokoh utama yang “mengalami langsung” pergulatan ini. Bagaimana kemudian Sam secara gaib dipertemukan dengan Nyai Teluh Braja yang menjelma sebagai Domas perempuan dusun di Gedong Songo, Kesi si perawat gaib, hingga Dewi Galuh Kencana yang sempat bercinta dengan Sam di alam kasat mata.
Gaya penulisan yang spontan dan lugas dari pria yang dulu pernah memiliki nama samaran Agnes Yani Sardjono, justru membuat pembaca mudah memahami alur dan isi cerita.
Nyai Teluh Braja bukan sekadar novel horor atau fantasi semata. Namun ia merupakan sebuah pencapaian sastra yang menyatukan tradisi dan modernitas, nalar dan mitos, batas dan kebebasan imajinasi. Novel ini akan sangat memikat bagi pembaca yang menyukai kisah bertensi tinggi, berbalut kearifan lokal, dan penuh kejutan filosofis. Selamat berselancar di dunia mitos!! [*]
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.















