Site icon JOGLOSEMAR NEWS

Kuartal II 2025 Ekonomi RI Tumbuh 5,12%, Banyak Ekonom Justru Bertanya-tanya

Ilustrasi pertumbuhan ekonomi | Pixabay

 JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM Siapapun tentu menganggap pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan fantastis sebagai capaian membanggakan. Namun, rilis Badan Pusat Statistik (BPS) yang semestinya menjadi kabar menggembirakan, justru memunculkan tanda tanya di kalangan ekonom.

Pasalnya, laporan BPS mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2025 yang menembus 5,12 persen langsung menuai reaksi. Angka tersebut jauh melampaui proyeksi mayoritas ekonom yang sebelumnya memperkirakan pertumbuhan berada di bawah 5 persen.

Kepala Ekonom BCA, David Sumual, termasuk yang kaget dengan capaian tersebut. “Cukup surprising, tidak ada yang prediksi di atas 5%, apalagi 5,12%,” ujarnya kepada CNBC Indonesia, Selasa (5/8/2025).

David menilai lonjakan investasi menjadi faktor penting pendorong PDB. Menurut data BPS, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) tumbuh 6,99 persen, tertinggi sejak kuartal II-2021. “Investasi angkanya sangat akseleratif. Angka pertumbuhan kuartal I juga banyak revisi dan investasi memang kami juga expect akselerasi, tapi tidak setajam angka BPS,” kata dia.

Ekonom Permata Bank, Faisal Rachman, menyampaikan hal senada. “Perekonomian Indonesia mencatat pertumbuhan yang lebih kuat dari perkiraan sebesar 5,12% yoy pada Triwulan II 2025, jauh di atas ekspektasi pasar yang memproyeksikan pertumbuhan tetap di bawah 5%,” tegasnya.

Hosianna Evalita Situmorang dari Bank Danamon juga mengaku terkejut. Ia menyoroti akselerasi PMTB yang disebutnya belum tentu memberi dampak luas ke perekonomian. “Cenderung enggak banyak spill over ke domestik pada semester I-2025 ini,” ucapnya.

Ekonom Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, ikut heran dengan capaian ini. “Suprising, karena ekspektasi kita di bawah 5%,” katanya.

 

Indikator Tidak Sinkron

Kejanggalan itu juga menjadi perhatian sejumlah lembaga riset. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menyoroti pertumbuhan industri pengolahan yang diklaim BPS mencapai 5,68 persen. Menurutnya, data tersebut tidak sejalan dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur yang justru berada di zona kontraksi empat bulan terakhir.

“Pertumbuhan industri pengolahan tidak sinkron dengan data PMI Manufaktur. Ini ada yang janggal,” tegas Bhima.

Berdasarkan catatan S&P Global, PMI manufaktur Indonesia pada Juli hanya 49,2, setelah sempat anjlok ke 46,7 pada April.

Kritik juga datang dari Indef. Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef, Andry Satrio Nugroho mempertanyakan dasar penghitungan pertumbuhan tersebut.

“Secara mencengangkan di triwulan 2 tumbuh 5,12 persen. Ini jadi salah satu pertanyaan, padahal tidak ada momentum Ramadan, tidak ada Lebaran,” ucapnya dalam diskusi publik yang digelar Indef, Rabu (6/8/2025).

Andry bahkan menyebut fenomena itu bisa dikategorikan sebagai anomali.

“Atau jangan-jangan ada semacam fenomena window dressing atau perubahan terkait dengan data,” katanya.

Menurut Andry, kinerja sektor perdagangan juga patut dicermati. BPS menyebut sektor ini tumbuh 5,37 persen, sementara pelaku ritel justru mengaku penjualan lesu.

“Bahkan fenomena rojali (rombongan jarang beli) dan rohana (rombongan hanya nanya) jadi salah satu yang mendorong perdagangan di industri retail tidak seperti tahun-tahun sebelumnya,” ungkapnya.

Sektor penyediaan akomodasi dan makan-minum yang diklaim melesat 8,04 persen juga dinilai tak sejalan dengan efisiensi belanja pemerintah. “Seharusnya pertumbuhannya menurun,” tambahnya.

 

Bantah Isu Manipulasi Data

 

Menanggapi isu dugaan permainan data, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menepis tudingan tersebut.

“Mana ada (permainan data),” ucapnya kepada wartawan di Jakarta.

Airlangga menegaskan, konsumsi rumah tangga tetap menjadi penopang utama dengan kontribusi 54,25 persen terhadap PDB, tumbuh 4,97 persen secara tahunan. Ia juga membantah isu “Rohana dan Rojali” yang ramai di publik. “Terkait dengan isu Rohana dan Rojali, ini isu yang ditiup-tiup, jadi faktanya berbeda dan tentu ini yang harus kita lihat,” ujarnya.

Menurut dia, pola konsumsi masyarakat kini bergeser ke belanja online. “Berdasarkan data BPS, transaksi online dari e-retail dan marketplace tumbuh sebesar 7,55 persen dari kuartal I ke kuartal II,” jelasnya.

 

Tetap Stabil, tapi Belum Struktural

 

Meski angka pertumbuhan impresif secara headline, sejumlah ekonom menekankan belum ada perubahan struktural yang signifikan. Ekonom Indef, M. Rizal Taufikurahman, mengingatkan bahwa capaian itu  masih mencerminkan pola musiman. “Artinya, kita tidak menyaksikan lonjakan pertumbuhan struktural, melainkan repetisi siklus musiman yang seringkali terdorong oleh momen Lebaran dan pola konsumsi jangka pendek, tanpa transformasi signifikan di sisi produktif,” ujarnya.

Ia menekankan, ketergantungan pada konsumsi dan impor berpotensi menekan neraca transaksi berjalan jika tidak diimbangi penguatan sektor tradable. “Ketergantungan pada konsumsi dan investasi tanpa dukungan kuat dari sektor produksi dan ekspor yang dapat menjadikan capaian pertumbuhan rawan tidak sustain,” tegas Rizal. [*] Berbagai sumber

.

Exit mobile version