YOGYAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM — Wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD menuai kritik keras dari kalangan akademisi. Kepala Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Dr. rer. soc. Masduki, S.Ag., M.Si, menilai gagasan tersebut bukan jawaban atas persoalan demokrasi dan efisiensi anggaran, bahkan berpotensi merusak sistem parlemen di Indonesia.
Masduki menegaskan bahwa memindahkan mekanisme pemilihan kepala daerah dari rakyat ke DPRD tidak serta-merta menyelesaikan persoalan politik uang, kualitas kepemimpinan daerah, maupun biaya penyelenggaraan pilkada.
“Kalau mau direfleksikan lebih mendalam, masalahnya bukan di situ. Maksudnya gini, kalau dialihkan ke DPRD, apa masalah politik uang, masalah kualitas pemimpin daerah, masalah efisiensi anggaran penyelenggaraan itu selesai? Itu gak ada hubungannya,” ujarnya, Selasa (30/12/2025).
Ia mengakui bahwa pelaksanaan pilkada langsung saat ini memang belum ideal dan masih menyisakan banyak persoalan. Namun, menurutnya, kembali ke mekanisme pemilihan tidak langsung bukanlah jalan keluar yang tepat.
Masduki menilai akar persoalan justru terletak pada partai politik. Ia menekankan pentingnya peran partai dalam menyiapkan kader-kader berkualitas yang memiliki integritas dan kapasitas kepemimpinan sebelum dihadapkan kepada publik.
Selain kaderisasi, ia juga menyoroti lemahnya kemandirian pendanaan partai politik. Menurut Masduki, partai seharusnya dibiayai secara otonom berbasis anggota, disertai pemisahan peran yang tegas antara jabatan eksekutif, legislatif, dan media, serta menjalankan pendidikan politik secara konsisten.
“Solusinya adalah penguatan partai politik, pendidikan politik. Kalau parpolnya campur aduk kayak di Indonesia, ya parpolnya nggak pernah mandiri, nggak kredibel seperti sekarang,” terangnya.
Ia menegaskan, tanpa pembenahan mendasar di tubuh partai politik, baik pemilihan langsung maupun pemilihan melalui DPRD sama-sama tidak akan melahirkan pemimpin daerah yang berintegritas.
“Pendidikan politik harus dituntaskan dulu. Kalau itu tidak dikerjakan, baik pemilihan langsung, seperti sekarang, maupun pemilihan oleh DPRD itu tidak akan menyelesaikan masalah efisiensi, tidak akan menghasilkan pemimpin daerah yang kredibel, yang berintegritas,” sambungnya.
Masduki juga mengingatkan bahwa pilkada tidak langsung berarti menarik demokrasi kembali ke pola Orde Baru. Ia menilai skema tersebut justru berisiko memindahkan praktik korupsi politik dari ruang publik ke ruang parlemen.
“Dan kalau bicara parlemen sebagai instrumen dari keterwakilan, ini bisa memunculkan penyakit-penyakit berikutnya. Seperti kita tahu di orde baru, kan kontrol itu bisa lebih kooptatif. Jadi ini akan semakin menguatkan intervensi dari presiden, dari eksekutif ke legislatif. Dan kita bicara Trias Politika, berarti ada proses pelumpuhan secara perlahan-lahan,” jelasnya.
Atas dasar itu, Masduki secara tegas menolak wacana pilkada tidak langsung. Ia menilai gagasan tersebut tidak disertai kajian yang komprehensif dan berisiko menimbulkan kerusakan yang lebih besar bagi demokrasi.
“Pada saat ini, ide ini harus ditolak. Ini hanya mengalihkan masalah, dan bisa buruk, kembali ke era orde baru. Malah terjadi perselingkuhan. Tadinya oligarki itu di eksekutif kan, oleh kelompok-kelompok elit partai. Ini nanti dengan anggota parlemen, karena pasti ada proses transaksi. Bisa transaksi partai dengan kandidat maupun individu politisi itu. Hancur itu rumah parlemen kita,” lanjutnya.
Lebih jauh, Masduki menilai wacana tersebut tidak lepas dari kepentingan politik jangka panjang. Ia mencium adanya nuansa pragmatis dalam dorongan pemilihan tidak langsung tersebut.
“Kira-kira hitung-hitung kekuasaan tahun 2029, lebih mudah mengontrolnya. Ada nuansa itu. Karena kalau dikaji lebih mendalam, saya yakin ini bukan solusi untuk efisiensi. Ini malah makin merusak,” imbuhnya. (*)
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.















