Beranda Daerah Solo Guru Besar UNS: Menaikkan BPJS, Presiden Jokowi Cuma Ngakali Hukum dan Jauhi...

Guru Besar UNS: Menaikkan BPJS, Presiden Jokowi Cuma Ngakali Hukum dan Jauhi Rasa Keadilan Masyarakat

Ilustrasi BPJS Kesehatan / tempo.co
Ilustrasi BPJS Kesehatan / tempo.co

 

SOLO (JOGLOSEMARNEWS.COM )-Kebijakan Presiden Joko Widodo menaikkan iuran BPJS terus menuai protes dari berbagai kalangan. Keputusan Jokowi itu dinilai tifak tepat dan hanya menggunakan pertimbangan pendek dan sesaat tanpa mempertimbangkan kepentingan rakyat.

            Langkah yang ditempuh Presiden Jokowi tersebut sangat disayangkan oleh Guru Besar Ilmu Hukum dari Universitas Sebelas Maret (UNS)  Surakarta, Prof Dr Pujiyono. Di saat kondisi ekonomi di semua sektor tengah terpuruk seperti saat ini, langkah presiden itu hanya mau cari amannya saja tanpa memperhitungkan  kondisi masyarakat.

            Pasca putusan MA yang menganulir Pasal 34 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 mengenai kenaikan iuran BPJS. Pemerintah mengeluarkan kebijakan lain yakni Perpres No 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang didalamnya ternyata menaikan kembali iuran BPJS, meski angkanya tidak sama, tetapi mendekati angka Perpres sebelumnya yang dianulir oleh MA.

            “Pemerintah telah abai terhadap putusan MA. Kalau pasal itu dianulir lalu dibuat lagi dengan angka yang berbeda, itu kan ngakali saja. Padahal fokusnya bukan besaran nilainya, tapi kenapa itu dianulir? Dasar pertimbangan MA menganulir bukan pada besarannya, tetapi karena menaikan itu dianggap oleh MA tidak tepat dan tidak sesuai dengan tuntutan rasa keadilan pada masyarakat,” ungkap Pujiyono kepada JOGLOSEMARNEWS.COM .

Baca Juga :  Bahlil Optimistis Menangkan Luthfi-Yasin di Pilkada Jateng 2024

            Dikatakan Pujiyono, langkah presiden tidak tepat, karena ketika itu kondisi ekonominya buruk, maka semua kebijakan harus berempati dengan kondisi. “Nah sekarang apakah kondisi ekonomi sudah membaik ? kan tidak, ditambah beban pandemik Covid 19, jadi kebijakan menaikkan itu dirasa menjauh dari rasa keadilan materiil yang ada di masayarakat,” tandasnya.

            Pujiyono menyatakan, bisa diartikan pula MA tidak melarang untuk manaikkan, tapi syaratnya perbaiki dulu ekonomi, sehingga kemampuan masyarakat meningkat. “Nah syarat ini seharusnya dipenuhi dulu oleh pemerintah sebelum menaikkan,” katanya.

            Kalau problemnya defisit BPJS, lanjut Pujiyono, bisa dilakukan dua hal, pertama, pemerintah seharusnya memperbaiki menajemen kelembagaan BPJS yang dianggap masyarakat kurang efisien. Selain itu kebijakan anggaran yang tidak fokus harus diperbaiki juga. Kartu Prakerja yang tidak efektif dan efisien, seharusnya dievaluasi, anggaran infrastruktur juga dapat dievaluasi dulu. “Alihkan untuk menutup defisit BPJS. Itu cara yang tepat, bukan cari jalan pintas,” paparnya.

            Selain itu, dia juga menyoroti mengenai keteladanan. Salah satu ciri negara hukum adalah kepatuhan terhadap hukum. Putusan MA itu adalah produk hukum yang harus dipatuhi, bukan diakali. “Kita sebenarnya menyesalkan para pakar hukum yang berada di sekeliling istana, yang memberi masukan yang tidak tepat pada presiden. Percuma mengajarkan mahasiswa hukum mengenai kepatuhan terhadap hukum, sementara para pakar hukum yang dekat dengan kekuasaan tidak memberikan keteladanan.  Para pemimpin kita saat ini memang diuji, tetapi juga dalam menghadapi ujian tersebut akan dicatat oleh sejarah, keteladanan apa yang sudah diwariskan!,” tandasnya.(ASA)

Baca Juga :  Sah, IPNU dan IPPNU Dukung Luthfi-Yasin untuk Pilkada Jateng 2024