Beranda KOLOM A NEW NORMAL

A NEW NORMAL

Ilustrasi New Normal. pixabay/pintera studio
Oleh : Pujiyono
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret

Pertengahan Maret lalu banyak ahli matematika yang memprediksi kurva pandemik Covid-19 di Indonesia mencapai titik puncak pada awal Mei dan akan menurun perlahan pada akhir Mei.

Namun hingga penghujung Mei ini gejala penurunan belum menunjukkan tanda-tanda yang signifikan dan justru di beberapa daerah mengalami lonjakan pasien positif Covid-19.

Pandemik Covid-19 belum tahu kapan berakhir, bahkan para ahli imunologi dan pandemik ada yang memprediksi wabah ini akan menemani kita hingga satu atau dua tahun ke depan. Dus, sampai sebelum anti virus atau vaksin ditemukan, agaknya kita harus lebih bersabar dan waspada.

Bahkan Wakil Presiden Ma’ruf Amin meminta maaf karena negara belum sanggup mengalahkannya. Akhirnya pilihan yang mengemuka adalah “A New Normal”, yang mengajak kita berdamai dengan pandemik Covid 19. Berdamai bukan berarti mengalah, namun menyadari bahwa Covid-19 ada di tengah kita dan menuntut kewaspadaan terhadapnya.

Tampaknya pemerintah begitu serius menyiapkan skenario A New Normal dengan menyiapkan regulasi. Setidaknya sudah ada dua regulasi yang dikeluarkan melalui Menteri Kesehatan.

Yang pertama, adalah Surat Edaran (SE) Menteri Kesehatan Nomor HK.02.01/Menkes/335/2020 tentang Protokol Pencegahan Penularan Corona Virus Disease (Covid-19) di Tempat Kerja Sektor Jasa dan Perdagangan (Area Publik) dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha, yang ditandatangani pada Rabu 20 Mei 2020 yang mengatur tata cara pedagang baik jasa maupun barang dalam situasi new normal.

Protokol ini memberikan petunjuk terhadap pengelola tempat kerja, pelaku usaha, pekerja, pelanggan/konsumen dan masyarakat yang terlibat pada sektor jasa dan perdagangan (area publik) melalui adaptasi perubahan pola hidup pada situasi COVID-19 (New Normal).

Regulasi Kedua adalah Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi.

Salah satu yang menarik dari SK ini adalah mengatur asupan nutrisi makanan yang diberikan oleh tempat kerja, pilih buah-buahan yang banyak mengandung vitamin C dan jika memungkinkan pekerja dapat diberikan suplemen vitamin C.

Baca Juga :  Relawan 02 Laporkan Tindak Dugaan Intimidasi Pada Bawaslu Solo

Pertanyaannya, lagi-lagi soal kultur atau budaya. Budaya itu dapat terbentuk dengan teratur dari dua sisi, dari bawah dan dari atas. Dari bawah, budaya merupakan repitisi perilaku komunal. Perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang. Sebagai contoh tradisi mudik.

Entah siapa yang memulai, mudik seakan menjadi ritual tradisi yang berulang terjadi menjelang Hari Raya Idul Fitri. Repitisi komunal dari bawah ini lebih berurat berakar dan tidak mudah untuk memutus rantai tradisi demikian dengan tradisi baru.

Makanya tidak heran apabila pemerintah terlihat begitu kewalahan untuk menghentikan mudik di masa pandemi ini.

Mengambil dari teori Ibnu Khaldun, bahwa repitisi masyarakat terbawah lebih berakar, hal yang sama juga disampaikan oleh Giddens dalam teori strukturasinya.

Giddens bahkan mengklaim, budaya komunal sedemikian dapat menciptakan kelembagaan yang baru.

Berikutnya adalah budaya yang lahir dari atas, budaya ini lahir biasanya karena ada kepentingan elit penguasa.

Sebagai contoh pada masa kependudukan Jepang yang melakukan berbagai langkah imperatif untuk memasukkan tradisi Jepang ke Nusantara, salah satunya tradisi bernama seikirei (membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pagi untuk menghormat pada Dewa Matahari).

Tentu pemaksaan budaya ini tidak dapat berjalan mulus, apabila tidak ada penjagaan maka masayarakat nusantara yang mayoritas Muslim menolak kebiasaan ini karena dianggap menyekutukan Tuhan. Namun ketika ada penjagaan ketat, terpaksa menurutinya.

Sebenarnya tidak semua kepentingan penguasa selamanya buruk, justru banyak baiknya. Sebagai contoh, kebijakan A New Normal ini adalah memberikan pembiasaan baru.

Memberikan jalan pada ekonomi untuk tetap berjalan dengan pembiasaan baru dalam bidang kehidupan bermasyarakat.

A New Normal bukan kembali pada kondisi normal, tetapi kondisi baru yang berubah dan itu harus menjadi budaya.

Masalahnya maunya pemimpin ini apa juga sudah menjadi maunya masyarakat? hal demikian agak kurang kita pahami, sebagai contoh begitu ada pelonggaran PSBB, transportasi dibuka, mall perlahan dibuka, betapa banyak masyarakat seperti sudah ancang-ancang untuk “mengeksploitasinya”.

Baca Juga :  Relawan 02 Laporkan Tindak Dugaan Intimidasi Pada Bawaslu Solo

Akibatnya meskipun mudik dilarang, tetapi bandara penuh berjubel, bahkan pengunjung mall rela berdesak-desakan untuk berebut baju lebaran, termasuk rela menjual paket bansos demi tetap berjubel di mall.

Dan akhirnya kurva Covid-19 tidak segera turun, bahkan beberapa hari mendekati angka tertinggi hingga penambahan kasus positif mendekati 1.000 orang terpapar.

Kenapa terjadi ? Karena kebijakan yang tidak padu dan kurangnya negara hadir sebagai pemimpin dengan ketegasan dan perlindungan. Sehingga ada saja warga masyarakat yang mengambil resiko terpapar.

Pun demikian dengan budaya baru yang bernama “A New Normal”.  Setidaknya ada dua syarat budaya baru new normal dapat berjalan.

Pertama dengan kebijakan yang tidak tumpang tindih, pengalaman tiga bulan terakhir menunjukkan Pemerintah terkesan tidak padu dalam mengeluarkan kebijakan.

Apabila kebijakan antar kementrian masih saling unjuk gigi dan cenderung berbeda, maka masayarakat akan memberikan penafsiran yang lain.

A New Normal bukan kebiasaan normal yang baru, tetapi kondisinya dianggap sudah normal, “mau new normal atau herd immunity, pokoknya sudah normal lah”, begitu kira-kira anggapanya.

Akibatnya kurva Covid-19 tidak akan menurun bahkan menanjak setiap harinya. Kedua, perlu hadirnya pemimpin negara sebagai pemandu yang memberikan ketegasan dan kenyamanan untuk menimbulkan optimisme.

Tanpa ini A New Normal hanya baik sebagai gagasan awal, berikutnya belepotan yang berujung herd immunity.(*)