Beranda Umum Nasional Aliansi Jurnalis Sebut Ada 28 Kasus Kekerasan terhadap Wartawan saat Aksi Demo...

Aliansi Jurnalis Sebut Ada 28 Kasus Kekerasan terhadap Wartawan saat Aksi Demo Tolak UU Cipta Kerja di Indonesia

Suasana demo penolakan UU Cipta Kerja di Bundaran Kartasura Kamis (8/10/2020). Foto: JSNews/Prabowo

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat ada setidaknya 28 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi saat meliput aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja di sejumlah wilayah di Indonesia.

Disampaikan Ketua Bidang Advokasi AJI, Sasmito Madrin, jenis kasus kekerasan paling banyak adalah pengerusakan alat dan perampasan data hasil liputan. “Yakni ada sembilan kasus. Lalu, intimidasi tujuh kasus, kekerasan fisik enam kasus, dan penahanan enam kasus,” ujar Sasmito melalui diskusi daring pada Sabtu (10/10/2020.

Adapun untuk pelaku kasus kekerasan, seluruhnya adalah polisi. Sehingga, AJI menilai bahwa kepolisian dalam beberapa tahun ini selalu menunjukkan menjadi musuh atas kebebasan pers. Terlebih, dalam 28 kasus ini, sebagian jurnalis sudah menunjukkan kartu identitas pers mereka.

“Tapi tetap mendapat kekerasan. Bahkan enam jurnalis di Jakarta, ditahan hampir 1×24 jam atau 2×24 jam. Mereka dibebaskan 9 Oktober malam dari PMJ (Polda Metro Jaya),” kata Sasmito.

Baca Juga :  Tak Bisa Berbuat Apa-apa untuk Selamatkan Sritex, Menaker Yassierli: Kita Tunggu Hasil Kerja Kurator

Atas temuan itu lah, AJI mengimbau kepada perusahaan media untuk memberikan konseling pemulihan trauma kepada jurnalisnya yang menjadi korban kekerasan saat meliput penolakan UU Cipta Kerja.

Sedangkan untuk polisi, AJI mendesak agar pimpinan mengusut tuntas dan menggunakan Pasal 18 ayat 9 UU Pers. “Jangan pakai pasal kode etik, harus pakai pasal pidana, untuk menyelesaikan kasus kekerasan ini,” ucap Sasmito.

Menghilangkan Barang Bukti

Sementara itu, Ketua AJI, Abdul Manan menilai ada pola kekerasan yang sama dan berulang terhadap jurnalis oleh anggota polisi. Menurutnya, sebagian besar jurnalis akan menjadi korban kekerasan ketika sedang meliput atau merekam anggota polisi menganiaya massa aksi.

“Polisi tidak mau kejahatannya diketahui dari publik. Akhirnya yang dia lakukan adalah mengintimidasi, merusak dan menghapus barang bukti,” ujar Manan.

Ditambahkan Manan, setiap anggota polisi mengetahui tugasnya ketika turun dalam aksi unjuk rasa adalah memulihkan keamanan. Namun, ketika ada anggota yang memukul atau menganiaya massa aksi, di mana perbuatan tersebut telah melanggar UU, maka polisi akan berusaha menekan atau menutupi kasus dengan menghilangkan barang bukti.

Baca Juga :  Kenaikan PPN 12% Cekik Leher Buruh dan Picu  Terjadinya PHK

“Makanya mereka menyerang wartawan. Kalau mereka lagi menolong orang, enggak mungkin wartawan dapat kekerasan, malah mungkin dapat reward karena sudah mendokumentasikan,” kata Manan.

www.tempo.co