JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Musibah kapal selam KRI Nanggala-402 yang menewaskan 53 awaknya, pada akhirnya berujung ke masalah pengelolaan anggaran pertahanan.
Evaluasi tersebut disampaikan oleh pengamat ekonomi Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat. Ia mengatakan, anggaran pertahanan 2021 yang dikelola Menteri Pertahanan Prabowo Subianto belum fokus kepada modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) Indonesia.
“Melihat musibah KRI Nanggala dan ketiadaan deep sea rescue nasional menunjukkan Indonesia belum memiliki sistem ketahanan yang kompetitif dibandingkan negara tetangga,” ujar Hidayat dalam keterangan tertulis, Selasa (27/4/2021).
Hidayat menyoroti anggaran Indonesia yang jauh lebih kecil dari rata-rata dunia. Anggaran pertahanan Indonesia 2021 sebesar Rp 137.3 triliun atau hanya sekitar 0,77 persen dari PDB 2021, dengan asumsi PDB Rp 17.656 triliun.
Menurut dia, anggaran pertahanan Indonesia tersebut di bawah standar minimal 1,2 persen. Bahkan, negara-negara maju memiliki anggaran pertahanan di atas 3 persen dari PDB. Misalnya saja, Amerika Serikat sebesar 3,2 persen, Rusia 3,9 persen, Arab Saudi 8,8 persen, Israel 4,3 persen dan Singapura 3,5 persen PDB.
Pada tahun 2020, kata Hidayat, anggaran Kemenhan telah mencapai Rp 131,2 triliun. Alokasi anggaran ini sebenarnya sudah naik Rp 21,6 triliun dari tahun 2019 yang sebesar Rp 109,6 triliun. Begitu pula anggaran tahun 2021 sudah naik menjadi Rp 137,3 triliun.
“Anggaran 2021 kini sudah menjadi Rp 137,3 triliun. Namun secara rerata kenaikan tersebut too little dan too slow sehingga tidak dapat diandalkan untuk perubahan modernisasi alutsista yang diharapkan publik,” kata Hidayat.
Hidayat berharap ada upaya pemerintah melakukan peremajaan alutsista yang lebih terencana terhadap perangkat perang yang prioritas perlu diupgrade. Ia pun menegaskan perlunya transparansi anggaran pertahanan. Musababnya, saat ini, ujar dia, transparansi dan akuntabilitas menjadi masalah terbesar dalam pengadaan alutsista di Kemenhan.
Hingga muncul insiden KRI Nanggala belakangan ini, publik dinilai belum pernah mendapatkan informasi utuh dan menyeluruh sehingga publik berkesimpulan bahwa pengadaan alutsista sudah dalam penggunaan yang benar. “Harus diakui, publik tidak mengetahui banyak bagaimana penggunaan anggaran di Kemenhan dikelola,” ujarnya.