SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Sedikitnya 300 warga di 5 RT Desa Tanggan, Kecamatan Gesi, Sragen ramai-ramai mendesak Pemkab melalui dinas terkait untuk menutup operasional Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang ada di desa setempat.
Desakan penutupan itu dilontarkan lantaran warga sudah tak tahan dengan kondisi TPA yang hampir 30 tahun dinilai hanya menyengsarakan lingkungan dan warga.
Sementara tuntutan pembenahan pengolahan serta kompensasi untuk warga terdampak, hingga kini tak pernah diperhatikan.
Desakan itu terlontar dari sejumlah tokoh masyarakat, Selasa (27/7/2021). Mereka rame-rame menyuarakan curahan hati terkait keberadaan TPA Tanggan yang selama ini sudah makin meresahkan.
Ketua RT 02, Desa Tanggan, Sutiman (45) mengatakan saat ini kondisi TPA Tanggan sudah semakin meresahkan karena kondisi sampah yang sudah menggunung dan overload.
Tidak hanya melebihi ketinggian permukiman, gunungan sampah juga telah meluber mendekati permukiman di sekitar.
Menurutnya ada 4 RT yang saat ini makin terdampak yakni RT 1, 2, 14 dan 15 dengan total hampir 250 KK.
“Kalau dulu mungkin belum begitu meresahkan. Tapi sekarang sudah overload, makin melebar dan mendekat ke permukiman. Sekarang jarak gunungan sampah ke permukiman di sebelah barat hanya 300 meter. Ini sangat-sangat mengganggu terutama dampak bau yang setiap hari makin menyengat. Belum lagi dampak lalat dan nyamuk yang sekarang tidak lagi musiman tapi tiap hari menyerbu ke permukiman. Ini benar-benar memprihatinkan sekali,” paparnya kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , Selasa (27/7/2021).
Langgar SOP
Sutiman menguraikan warga makin resah karena pengelolaan yang diduga melanggar SOP. Sampah yang harusnya dibuang dan diurug, justru dibiarkan menggunung.
Kemudian limbah tinja yang harusnya diolah dan dinetralisir dulu, justru hanya dialirkan ke saluran menuju permukiman.
Hal itu membuat polusi bau dari waktu ke waktu makin parah. Sementara selama ini penderitaan warga tak pernah diimbangi dengan perhatian. Baik kompensasi untuk fasilitas kesehatan maupun perbaikan gizi.
Sutiman menyebut sudah hampir 6 tahun dirinya dan warga di 4 RT berjuang menuntut kompensasi, namun hanya sekali saja diberi sembako.
Padahal berdasarkan UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, warga di radius terdampak, berhak mendapat kompensasi yang melekat.
Mengacu UU itu, warga sebenarnya berhak mendapat kompensasi tambahan perbaikan gizi dan fasilitas kesehatan seperti klinik gratis untuk pelayanan warga.
Karena selama ini tak sedikit warga yang tinggal di radius dekat sudah mengeluhkan gangguan kesehatan seperti pernafasan dan lain-lain.
“Akan tetapi selama 6 tahun kami audiensi dan mengajukan, tak pernah ada perhatian. Sudah hampir 30 sejak TPA ini ada, warga juga nggak pernah dapat kompensasi apa-apa. Makanya kalau memang tidak ada itikad pemerintah untuk memperbaiki pengelolaan dan memberi kompensasi ke warga, lebih baik ditutup saja. Kami sudah jenuh, 30 tahun tak pernah mendapat manfaat tapi hanya dapat dampak buruknya saja,” tegasnya.
Makin Tak Nyaman
Senada, Ketua RT 1 sekaligus anggota BPD, Suramto (43) menyampaikan kondisi gunung sampah yang makin overload memang sudah sangat meresahkan.
Di wilayah RT 1 yang berdomisili 65 KK, saat ini jarak dengan gunung sampah hanya 300 meter. Imbasnya, hampir semua warga setiap hari makin terdampak dengan bau menyengat, serbuan lalat maupun nyamuk.
“Kalau awalnya masih agak jauh, sekarang sudah dekat bahkan satu RT semua merasakan baunya. Kami di rumah sendiri sampai nggak nyaman karena bau sampah yang makin menyengat apalagi kalau hujan. Bayangkan hampir 30 tahun, kami sudah nggak tahan Mas,” tuturnya.
Ketua RT 15, Suyanto memperkuat keresahan warganya terkait aliran pembuangan limbah tinja dari TPA. Sebab limbah tinja hanya dialirkan ke saluran menuju permukiman warga tanpa ada proses pengolahan.
Di wilayah RT-nya, ada 49 KK dan dampak bau serta polusi lainnya makin terasa karena jarak ke TPA hanya 50 meter.
“Dampaknya tanaman di lahan sekitar saluran pembuangan tinja itu banyak yang mati dan kalaupun bisa panen hasilnya nggak bagus. Karena kena aliran tinja yang panas,” terangnya.
Pencemaran Tanah dan Air
Ketua RT 14, Sadikin (50) tak kalah geram. Ia mengatakan ada 57 KK di wilayah RT-nya yang juga menanggung dampak buruk TPA karena hanya berjarak 50 meter.
Sama halnya warga lain, warga lingkungannya juga mengeluhkan imbas pembuangan aliran tinja yang berbau dan merusak tanah serta mematikan tanaman.
Selain itu, resapan tinja juga sudah mencemari sumur-sumur warga hingga tak layak konsumsi.
Ia juga menyayangkan lambannya respon pemerintah terhadap keluhan warga.
Termasuk saat audiensi pada Maret lalu yang menghasilkan kesepakatan akan membangun instalasi pengolahan tinja, hingga dua bulan berlalu saat ini juga tak ada realisasi.
“Baunya itu nggak tahan Mas. Kayak WC. Apalagi kalo sampah pas diaduk-aduk dan pas mobilnya ngesok (nuang) tinja, baunya sampai rumah sini nggak tahan. Makan jadi nggak enak. Kami terus terang sudah lelah. Bukan sehari dua hari, 30 tahun harus menanggung dampak bau dan kerusakan lingkungan. Makanya kalau nggak bisa mbenahi dan memberi kompensasi, ya lebih baik ditutup saja. Karena TPA ini sudah nggak layak dan hanya merugikan masyarakat,” timpal Sukir (60) warga RT 15 yang tinggal di sebelah selatan TPA. Wardoyo