Beranda KOLOM Geger Soal Rektor UI, Mirip Kisah Film

Geger Soal Rektor UI, Mirip Kisah Film

Ilham Bintang. foto: dok pribadi

 

Catatan: Ilham Bintang*

Semboyan atau konsep operasional moral Universitas Indonesia adalah  Veritas, Probitas, Iustitia —Kebenaran, Kejujuran, Keadilan. Tapi, kisah yang berkecamuk di sana sebulan terakhir mirip film atau sinetron: dijejali logika serba kebetulan. Tidak ada diskursus terkait nilai- nilai yang terkandung dalam semboyan mulia UI itu.

 

Yang Haq vs Yang Batil

Berawal dari   meme mahasiswa BEM -UI yang bikin geger itu “Jokowi, The King Of Lip Service”. Sabtu meme beredar, Minggu mahasiswa itu sudah disidang rektorat. Mahasiswa diminta mencabut meme, tapi mereka tak mau.

Dari kasus meme itu terungkap  lah rangkap jabatan Rektor UI sebagai komisaris di Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang dilarang di Statuta UI. Seperti biasa di “negeri + 62 ” setiap kasus selalu menampilkan pertarungan antara pembela dengan yang sebaliknya.

Dalam film dikenal istilah, konflik antara tokoh antagonis vs protagonis dengan berbagai bumbu cerita. Pertarungan yang Haq  versus yang Batil. Itulah yang bergulir sampai sekarang.

Cerita lalu berkembang dengan terbitnya PP 75/2021 yang diteken Presiden Jokowi awal Juli. PP itu mengubah Statuta UI yang lama ( PP 68/2013). Dengan statuta yang baru : Rektor UI sah merangkap jabatan Rektor UI dan Wakil Komut BRI yang bergaji Rp.1,5 Milyar / bulan.

Dengan statuta baru UI cerita maunya endgame. Tapi ternyata tidak. Ari Kunco malah mundur dari jabatan Komisaris BRI. Padahal, kurang apa Presiden Jokowi sudah pasang badan untuk Sang Rektor.

 

Memalukan alumni

Pengunduran  diri Ari Kuncoro dari jabatan Komisaris BRI tidak cukup bagi ratusan  alumni UI yang prihatin dan merasa malu atas kasus rektor ini.  Dalam pernyataan sikapnya minggu lalu mereka  menuntut pengunduran diri Ari Kuncoro  sebagai  Rektor UI.

Sebagian besar dari mereka adalah tokoh dewan dan senat mahasiswa yang kondang di masanya, di masa masa : Hariman Siregar, Fadli Zon, Dipo Alam, Lukman Hakim dan Chandra Motik yang sohor itu. Mereka terpanggil untuk “turun gunung” dan bersuara.

Tapi sikap ratusan alumni UI malah menghadapi perlawanan dari ratusan mahasiswa UI  lain yang menamakan diri alumni UI cinta NKRI yang bulat-bulat membela Ari Kuncoro.

Yang terbaru kini Dewan Guru Besar UI  ( DGB-UI) ikut turun gunung pula. Ini menarik diulas. Diketuai Prof Harkristuti Harkrisnowo  dengan 40 DGB – UI mengirim pernyataan sikap kepada media pers Senin, (26/7) lalu.

Ada 8 butir pernyataannya. DGB UI menjelaskan telah menginventerisasi duduk masalah ribut- ribut soal rangkap jabatan secara runut. Kesimpulannya : PP 75/2021 mengandung cacat materil.

DGB – UI  menghendaki Statuta UI dikembalikan ke semula. Seperti yang diatur dalam PP 68/2023 yang melarang Rektor UI merangkap jabatan.

Apa artinya? DGB -UI yang terdiri dari para sosok-sosok maha terpelajar itu malah tidak menyentuh urusan moralitas dan etika sang rektor yang juga seorang professor dalam  UI. Sesuai semboyan : veritas, probitas, lustitia UI sendiri. Pijakan etika dan moralitas itu yang  mestinya menjadi pegangan para guru besar lembaga pendidikan terhormat tersebut.

DGB -UI dalam siaran pers nya  hanya berkutat pada  penyimpangan prosedural pembuatan statuta baru yang sudah diteken Presiden sebagai PP 75/2021.

 

Dua kali rektor melanggar

Sangat kuat mengesankan  DGB UI  sengaja “melipir” menghindari menyoal urusan moralitas yang  memang bisa berujung Ari Kuncoro harus meletakkan jabatan sebagai konsekwensinya. Juga pembubaran DGB -UI itu sendiri.

Sebab, berdasar fakta peristiwa, DGB -UI itu telah melakukan pembiaran terhadap pelanggaran pengangkatan Ari Kuncoro sebagai Rektor UI sejak awal. Sejak Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Bank Negara Indonesia ( BNI) pada  2 November 2017 yang mengangkat  Ari Kuncoro sebagai Komisaris Utama merangkap Komisaris Independen BNI. Jabatan itu dipegang Ari Kuncoro hingga 20 Februari 2020.

Begitu pula terhadap keputusan Majelis Wali Amanah ( MWA) 25 September 2019  menetapkan Ari Kuncoro sebagai Rektor (dilantik pada 4 Desember 2019,  untuk masa jabatan 2019-2024). Waktu  itu Ari Kuncoro sudah menjabat sebagai Komisaris Utama BNI.

Kemudian Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) BRI  18 Februari 2020 Ari Kuncoro diangkat menjadi wakil komisaris utama BRI sampai mengundurkan diri pada 22 Juli 2021.

Fakta ini menunjukkan Ari Kuncoro sudah melanggar aturan  larangan rangkap jabatan sebanyak dua kali. Tidak pernah kita mendengar DGB – UI menanggapi itu.

DGB -UI baru bersuara sekarang setelah gaduh. Dalam pernyataan terbarunya pun, DGB UI hanya mengusulkan bikin Statuta baru sebagai solusi. Simak  penutup pernyataan DGB -UI (pada poin 8) berikut.

“Dalam rangka menjamin good university governance, menindaklanjuti surat tertanggal 24 Juli 2021 kepada tiga organ UI, DGB UI meminta segera diadakan pertemuan bersama untuk mempersiapkan penyusunan Statuta UI yang baru. Termasuk yang akan dibahas dalam Statuta UI yang baru adalah kemungkinan pengalihan kewenangan antar organ, yang tentu harus dibicarakan secara bersama di antara empat organ UI.”

DGB UI sebenarnya membenarkan sorotah publik terhadap Ari Kuncoro yang melanggar Statuta UI yang lama dengan merangkap jabatan  komisaris di BRI.

Sia-sia yang menunggu jawaban : apa sanksi bagi pelanggaran Rektor UI ? Pertanyaan berikutnya :  apa pula sanksi bagi DGB UI sendiri? Bukankah mereka juga patut diduga ” terlibat” sekian lama tidak mengawasi pelanggaran seperti sudah dikemukakan di atas.

 

 

Biar film tapi kelewatan

          Saya ingin menutup ulasan ini dengan kisah di masa kecil, di Makassar, tentang Baco Puraga nonton film. Kebetulan itu yang teringat waktu menulis ini.

Baco Puraga dalam kisah itu memerankan sosok orang dari desa terpencil di kaki  gunung. Baru masuk kota dan baru pertama kali menonton film di bioskop. Ke bioskop saja pun membawa badik. Bioskop  hari itu memutar film laga. Seru.

Setengah pertunjukan Baco Puraga mulai terganggu. Dia menilai  laga dalam film tidak berimbang. Si Tolo’ ( istilah anak Makassar pemeran utama film) kewalahan menghadapi keroyokan musuhnya.

Baco Puraga tanpa sadar mulai berteriak. ” Woi, pisahin dong,” serunya ( kira – -begitu terjemahannya dari bahasa Bugis Makassar). Tapi tidak ada yang perduli.

Dalam pada itu Tolo’ makin terdesak. Terjatuh dia akhirnya. Kepalanya masuk parit. Pengoroyok makin ganas. Baco Puraga teriak lagi. Penonton kiri -kanan kini yang terganggu.

” Ini cuma film Daeng. Sabar ki, ” tegur penonton yang duduk di sebelahnya.

 

Baco Puraga semakin gelisah. Dia tidak melihat usaha melerai dari penonton di depan. Sampailah cerita pada puncaknya. Ketika Baco Puraga melihat seorang di antara pengeroyok hendak menghunjamkan tombak ke tubuh Tolo’ yang sudah tak berdaya. Spontan Baco Puraga menyerbu ke depan, ke arah layar bioskop. Menghunus  badik dari pinggang.

Ia pun turut bertarung di situ. Seisi penonton bioskop geger. Serentak  bangkit dari kursi. Serempak berteriak : Oee itu cuma film.! Bohong-bohongan!

Beruntung petugas keamanan bioskop sigap meringkus Baco Puraga. Pertunjukan dihentikan. Lampu bioskop dinyalakan. Baco Puraga sudah dalam pengendalian sepenuhnya petugas keamanan. Tapi terlihat masih penasaran, belum bisa mengendalikan diri.

Nafasnya tampak naik turun. Kepada para penonton dia balas berteriak lantang : ” Woi! Manna pelleng punna tallewaki “, ucapnya sambll ngos-ngosan. ” Dia mengulang-ulang ucapannya itu.

Manna pelleng punna tallewaki. !

Biarpun film kalau sudah kelewatan harus distop.

Artinya begitu.(*)

 

–Penulis adalah wartawan senior*—