YOGYAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Dengan lepasnya 58 pegawai yang dinyatakan tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK), tes yang dinilai kontroversi oleh banyak kalangan itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak akan segarang dan sekuat sebelumnya.
Penilaian itu disampaikan oleh peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM).
“Kita tidak akan bisa melihat kiprah KPK sehebat dulu. Karena kondisi yang menimpa KPK hari ini adalah dampak dan implikasi dari dua hal yang sejak awal sudah banyak dikritisi oleh publik,” kata Yuris, Rabu (29/9/2021),” kata Yuris, dikutip dari laman UGM.ac.id (29/9/2021).
Sejak berita pemecatan pegawai KPK itu ramai terdengar, Yuris menyebutkan adanya dua persoalan, yakni rekam jejak proses pemilihan pimpinan KPK cenderung bermasalah dan revisi UU KPK yang mendegradasi independensi KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi.
Lebih lanjut, Yuris mengatakan bahwa apa yang terjadi merupakan upaya untuk menyingkirkan 57 pegawai itu dari KPK.
“Kedepan, dengan atau tanpa 57 pegawai yang akan dipecat, masih sulit membayangkan KPK bisa segarang dulu dalam memberantas korupsi,” tegasnya
Sebelumnya, Ombudsman dan Komnas HAM sudah menyebut bahwa proses TWK diduga penuh maladministrasi serta pelanggaran HAM.
Kondisi itu membuat masyarakat menaruh harapan besar kepada Presiden sebagai pemimpin tertinggi eksekutif untuk memperbaiki keadaan.
Hal itu karena Presiden adalah yang mengatur pelaksanaan perintah undang-undang sekaligus pimpinan tertinggi ASN. Namun menurut Yuris Reza, Presiden tidak mengambil sikap tegas terhadap permasalahan ini.
“Justru saat Presiden tidak bersikap, publik dapat mempertanyakan peran Presiden dalam dua kewenangannya tersebut,” ujar Yuris.
Sebelumnya, dua pimpinan KPK terbukti melakukan pelanggaran etik yang mengarah pada tindakan pidana. Melihat dari kasus tersebut, pejabat KPK yang terlibat dalam kasus korupsi dan melakukan pelanggaran etik berat melakukan introspeksi diri, khususnya bagi pimpinan dan Dewan Pengawas (Dewas).
“Mana mungkin KPK bisa menjadi lembaga pemberantasan korupsi yang efektif kalau di tingkat pimpinan saja tidak “zero tolerance” terhadap praktik koruptif,” papar Yusri.
Menurut Yusri dibandingkan Dewas hari ini, sistem pengawasan internal KPK sebelum Revisi UU KPK jauh lebih baik karena lebih tegas menghukum pihak internal KPK yang melakukan pelanggaran,” katanya.
“Mengkritik kondisi KPK hari ini bukan berarti membiarkan praktik korupsi berjalan di pemerintahan. Bagi publik, yang terpenting adalah negara bertindak nyata dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia,” ujarnya.
Hasil survei Lembaga Indikator Politik Indonesia menunjukkan kepercayaan publik terhadap KPK mengalami penurunan. Hal itu dinilai sesuai dengan kondisi KPK saat ini. Namun begitu, menurutnya tugas publik sebagaimana sejak dulu tetap kritis dan melakukan pengawasan dari luar. Wahyu Anwari