Beranda Daerah Solo Soal Suksesi Pura Mangkunegaran: Tak Harus Keturunan Langsung, Bisa Keponakan atau Cucu

Soal Suksesi Pura Mangkunegaran: Tak Harus Keturunan Langsung, Bisa Keponakan atau Cucu

Prof Andrik Purwasito saat menyampaikan paparan dalam diskusi mengenai suksesi Pura Mangkunegaran, Jumat (26/11/2021). Foto: JS News/Prabowo

SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM —Pergantian tampuk kekuasaan di Pura Mangkunegaran sebentar lagi akan dilakukan. Sejumlah pihak memiliki pandangan mengenai proses suksesi di Praja Mangkunegaran tersebut.

Seperti yang tertuang  dalam kegiatan diskusi publik yang membahas proses suksesi tersebut yang digelar di Hotel Sahid Jaya, Jumat (26/11/2021) dengan mengambil tema “Menyoal Suksesi di Pura Mangkunegaran, Wahyu Keprabon Untuk Siapa?”.

Saat ini sudah ada tiga nama yang muncul sebagai Pemangku Adat Pura Mangkunegaran, yakni putra KGPAA Mangkunegara IX GPH Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo, GPH Paundrakarna Jiwa Suryanegara, serta cucu Raja Mangkunegara VIII yakni KRMH Roy Rahajasa Yamin.

Pengamat Sejarah, Raden Surojo saat menjadi salah satu narasumber diskusi mengatakan, melihat rekaman sejarah pola suksesi di Pura Mangkunegaran berbeda jauh dengan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

“Kalau di Keraton Kasunanan, harus sesuai garis keturunan raja secara langsung. Sementara di Pura Mangkunegaran tidak menganut pola keturunan secara langsung. Bisa siapa saja yang penting keturunan dari trah Mangkunegara. Itu kalau mau lihat perjalanan sejarahnya,” ungkapnya.

Sehingga proses dan pola suksesi di Pura Mangkunegaran dinilai lebih cair, bisa dari berbagai saluran, sehingga sesuai dengan pola situasional dan kontekstual yang dihadapi zaman kini.

“Suksesi di Mangkunegaran sesuai pada realita yang dihadapi. Yakni pola situasional. Bukan hanya karena keturunan, bukan seperti Keraton Surakarta dengan pola garis (keturunan) langsung,” ungkapnya.

“Yang penting tidak meninggalkan tradisi keturunan Adipati Mangkunegara. Bisa putra, keponakan dan adik, atau cucu. Dewan Pinisipuh dan Punggowo Baku punya hak untuk memilihnya. Paling tidak memberi penilaian kapabilitas calon tersebut yang layak menjadi KGPA Mangkunegaran X,” jelasnya.

Baca Juga :  Sekber Soloraya Tegaskan Dukungan Untuk Luthfi-Yasin Dalam Pilkada Jateng 2024

Dia mencontohkan, saat pergantian atau suksesi Adipati Mangkunegaran I ke Mangkunegara II, bukan langsung putra raja. Bahkan paling mencolok adalah saat suksesi Mangkunegara 5 ke Mangkunegara 6.

Saat itu pemilihan juga situasional, karena Mangkunegara 6 adalah anak Mangkunegara ke IV. Pasalnya selain jiwa militer, tetapi dikenal sosok yang sangat mumpuni secara manjerial dan pebisnis hebat kala itu.

“Mangkunegaran II bukan putra Mangkunegara I. Suksesi sangat rasional. Mangkunegara 6 dilantik menduduki jabatan tatkala pada masa Mangkunegara 5 dilanda krisis ekonomi. Saat itu Mangkunegara IV merintis industri (sangat maju), seorang kepala pemerintahan dan enterprenuer hebat,” terang dia.

Sementara itu, Pengamat Budaya UNS, Prof Dr Andrik Purwasito, DEA menjelaskan, suksesi Mangkunegara IX ke X adalah bersatunya keinginan kontekstual dan situasional dengan wahyu keprabon. Adapun suksesi bisa dari berbagai saluran, konvensional dan non konvensial.

Dia mencontohkan, kala seorang ‘pejudi’ Ken Arok dan bukan siapa-siap, tiba-tiba ditemukan Logawe sehingga bisa menjadi Raja Singasari. Ia sebagai raja pertama bergelar Sri Rajasa Bathara Sang Amurwabhumi pada tahun 1222 – 1227.

Peserta diskusi tentang suksesi Pura Mangkunegaran. Foto: JSNews

“Saat itu sosok Logawe melegitimasi seorang penjudi menjadi raja. Akhirnya Ken Arok jadi Raja beneran. Logawe bilang kamu (Ken Arok) sekarang jadi Anak Wisnu. Kata Logawe begitu, bukan trah keturunankan,” jelas dia.

“Tidak harus orang dalam, rembesing madu. Bisa juga orang yang suka bertapa dan bijaksana. Saya tidak mengomentari dalam Pura. Hanya ada kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di lingkungan Jawa yang bisa dilihat,” ungkap dia.

Dia menjelaskan, Raja dan masyarakat itu keris dan warangka. Raja itu keris, sementara masyarakat itu warangka atau selubung yang terbuat dari kayu.

Baca Juga :  Keberatan Soal Panelis, Kubu 01 Teguh-Bambang Ancam Boikot Debat Pilkada Solo 2024 Nanti Malam

“Ada hubungan timbal balik di situ. Tentang sesuai situasi. Meskipun tidak punya suara yang menentukan pengganti Gusti Mangku IX, tapi ada spirit memberikan masukan. Mengingat Pura Mangkunegaran sangat luar biasa asetnya dan SDM-nya, harus dikelola dan dimaksimalkan kembali,” jelasnya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, ada sejumlah syarat Wahyu Keprabon jatuh kepada sosok calon raja. Di antaranya wicaksono (bijaksana) dan unggul dalam pengetahuan lahir dan batin, berpandangan jernih, waskito. Mampu merasakan hal yang gaib, bisa memberantas kejahatan, tutur bahasa halus seperti Dewa Surya hingga teliti dan detail seperti Dewa Bayu.

Tak berhenti sampai situ, menurutnya wahyu keprabon di antaranya suka bersedekah, tegar dan tegas dan berani melawan kejahatan.

“Itulah yang akan ketiban Wahyu Keprabon. Ada spirit wicaksono artinya cenderung orang yang bijaksana. Jadi jika diberikan otang sembarangan tidak mungkin, karena Wahyu Keprabon itu memilih. Istilahnya jika ada orang yang haus memberi air. Maka kalau ada yang seperti itu ya jadi Gusti Mangku ke X,” tuturnya. (Prabowo)