Beranda KOLOM Kesawan Medan, Zaman Kelam Perbudakan

Kesawan Medan, Zaman Kelam Perbudakan

Bangunan lama peninggalan Belanda di Medan. Foto: Asro Kamal R
Asro Kamal Rokan. Foto: dok

Catatan: Asro Kamal Rokan*

KESAWAN salah satu kawasan berserajah di Medan. Di sepanjang Jalan Jenderal Ahmad Yani, jalan utama kawasan ini, berdiri banyak bangunan tua yang menyimpan kisah masa kolonial Belanda. Juga kisah perbudakan buruh-buruh perkebunan — yang dikenal dengan nama Poenale Sanctie.

Di mulut kawasan ini, tepatnya sudut perempatan Jl Pemuda-Jl Palang Merah, berdiri megah bangunan berarsitektur Eropa. Di bagian atasnya ada cungkup berwarna hijau. Gedung ini adalah kantor Deli Planters Vereeniging, tempat berhimpun tuan-tuan kebun di Deli, pada 1880.

Perhimpunan ini dibentuk setahun sebelum lahirnya peraturan Koelie Ordonnantie — yang di dalamnya memuat Poenale Sanctie. Saat ini, gedung tersebut kantor Badan Kerja Sama Perusahaan Perkebunan Sumatera (BKS-PPS).

Beberapa meter dari gedung ini, di Jalan Ahmad Yani No 120, ada kantor percetakan dan pemasaran koran berbahasa Belanda pertama di Medan, De Deli Courant (1885). Koran yang berdiri pada 18 Maret 1885 ini, terbit setiap Rabu dan Sabtu.

Pencetakan koran saat itu digerakkan tenaga uap. Oplahnya sekitar 150 eksemplar. Kantor redaksi koran ini di Palehuis Weg (Jalan Gudang No. 3). Saat ini percetakan De Deli Courant difungsikan sebagai kantor Perusahaan Daerah Aneka Industri dan Jasa Sumatera Utara. Bentuknya belum berubah.

De Deli Courant diterbitkan pemuda Jacques Deen ini, menyasar pasar orang-orang Belanda yang semakin banyak berdatangan membuka perkebunan di Sumatera Timur (baca Sumatera Utara), setelah diberlakukannya UU Agraria (Agrarische Wet) pada 1870, menyusul dihapusnya Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) yang sangat menyiksa pribumi terutama di Jawa.

Koran ini lebih menyuarakan kepentingan tuan-tuan kebun Belanda. Tidak jauh dari kantor pemasaran De Deli Courant berdiri restoran Tiptop, tempat tuan-tuan kebun dan noni-noni Belanda bersantap. Restoran ini masih berdiri dan mempertahankan gaya masa lalu.

Setelah Deli Courant terbit, menyusul terbit koran berbahasa Belanda lainnya, De Ootkust (1895) dan De Sumatra Post (1898). Berbeda dengan Deli Courant, koran Sumatra Post justru menyuarakan kepentingan umum. Koran ini diterbitkan J. Hallermann. Kantor pemasarannya kini jadi Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumut, Jl. Prof. HM Yamin, SH No. 40 Medan.

Dalam buku Koeli Kontrak Tempo Doeloe karya Muhammad Said (1977), buku Jan Breman berjudul Koeli, Planters en Koloniale Politiek (1997) dan buku Toean Keboen dan Petani karya Karl J Pelzer (1985) soal sikap koran _De Sumatra Post menjadi pusat pembahasan, terutama tentang sosok J  Van den Brand, pengacara muda dan pemimpin redaksi Sumatra Post. Den Brand-lah yang membongkar skandal besar kasus perbudakan di Deli, yang sangat menggemparkan negeri Belanda.

Dalam brosur yang diedarkan di Belanda, Den Brand yang melakukan investigasi, menulis dengan judul De Millioenen Uit Deli (Berjuta-juta dari Deli). Den Brand memaparkan fakta, yang mengejutkan. “Para kuli dicambuk, diseret dengan kuda, digantung, kuku kaki mereka ditusuk bambu. Kuli perempuan ditelanjangi, kemaluannya dibubuhi merica,” tulis Den Brand.

 

Parlemen Belanda gempar. Timbul prokontra. Banyak kalangan merinding membaca kekejaman tuan-tuan kebun, yang mengingatkan mereka pada novel Max Havelaar karya Multatuli pada setengah abad sebelumnya. Sedangkan koran-koran propemerintah di Belanda menilai, Brand berlebihan dan tulisannya bersifat kasuistis.

Baca Juga :  Temui Ribuan Massa, Respati-Astrid Ingatkan Filosofi 27 November Pada Pendukung, 'Nomer 2 entuk Pitulungan'

Di Deli, Brand dikucilkan, diusir dari komunitas Belanda, diboikot, dan sumber rezekinya ditutup. Bahkan orang-orang yang sebelumnya bersahabat dengannya membuat iklan di koran yang menyatakan “tidak lagi berhubungan dengan Brand”.  Mereka menganggap Brand telah “mengotori rumahnya sendiri.”

Brand tidak peduli. Menurut Jan Breman, Den Brand kembali menuliskan fakta-fakta baru di koran Sumatra Post edisi 28 Februasi 1902. Brand juga menulis tentang serangan kepadanya, juga fitnah, dan ancaman.

Muhammad Said — pendiri Harian Waspada Medan — menulis, koran Sumtra Post sangat memberi perhatian pada penderitaan kuli-kuli kontrak. Tan Malaka juga menulis soal ini pada Juli 1920 di Sumatra Post. Namun Tan tidak mencantumkan namanya, melainkan nama samaran Pontjo Dirjo. “Ketika ditanya, Tan Malaka tidak mau mengaku itu tulisannya,” tulis Muhammad Said.

Tulisan Den Brand bergaung keras, tidak saja di Belanda, tapi juga di Jawa. Muhamamd Husni Thamrin, tokoh Betawi, yang saat itu anggota Volksraad, sengaja datang ke Deli melakukan investigasi. Temuannya tentang fakta kekejaman tuan-tuan kebun disampaikannya dalam sidang Volksraad. Hasilnya peraturan Koelie Ordonnantie — yang di dalamnya memuat Poenale Sanctie — dicabut pemerintah Hindia-Belanda pada 1930.

 

Penyiksaan Terhadap Koeli

 

Poenale Sanctie adalah peraturan yang memberi wewenang kepada tuan-tuan kebon untuk menghukum para kuli. Peraturan yang dibuat pada 1880 ini menjadikan tuan kebun sebagai polisi, jaksa, dan sekaligus hakim. Tuan kebun menentukan sendiri hukuman terhadap kuli, yang mereka anggap melanggar kontrak. Ini melahirkan tragedi sekaligus skandal. Kuli-kuli diangap budak. Tidak sedikit yang tewas.

Tragedi ini episode kelam setelah Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dihapus di Hindia Belada pada 1870. Tanam Paksa, yang memicu protes, termasuk Multatuli melalui novelnya Max Havelaar, memaksa petani di Jawa menyediakan dua puluh persen tanahnya untuk jenis tanaman ekspor yang ditentukan kolonial.

Petani yang tidak memiliki tanah dipaksa menjadi kuli. Di Tasikmalaya, Cianjur, Banten, dan berbagai daerah lain di Jawa, Tanam Paksa berakibat penderitaan rakyat. Mayat-mayat dibiarkan membusuk di jalan-jalan karena kelaparan sebagai “peringatan bagi mereka yang membangkang.”

Di Belanda, kalangan politisi liberal yang didukung pengusaha, tidak saja mendesak Tanam Paksa dihentikan, tapi juga mendorong lahirnya Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) sebagai pengganti Tanam Paksa.

Undang-undang ini memberikan kewenangan luas kepada pengusaha swasta untuk berbisnis. Peran pemerintah berbisnis dihapus. Pemerintah hanya bertugas membuat aturan, menjaga keamanan, dan menyediakan sarana  Sedangkan bisnis dan ekonomi diurus swasta. Inilah sistem ekonomi liberal pertama kali diperkenalkan di Nusantara.

Melalui UU Agraria 1870 itulah pengusaha-pengusaha Belanda dan Eropa masuk dan berinvestasi di Deli. Pengusaha pertama yang masuk adalah Jacobus Nienhuys, yang membuka perkebunan tembakau dan mendirikan Deli Maatschappij ada 1863. Sukses Nienhuys diikuti pengusaha lain dari Eropa, yang membuka perkebunan kelapa sawit serta karet.

Tapi timbul persoalan. Mereka memerlukan banyak buruh untuk membuka hutan dan mengurus perkebunan. Orang-orang Melayu dan Tapanuli tidak berkenan bekerja dengan mereka. Nienhuys kemudian mendatangkan buruh-buruh Tionghoa dan India dari Penang dan Malaka ke Deli pada1865.

Baca Juga :  Kampanye Terakhir, Respati-Astrid Apresiasi Antusiasme Seluruh Pendukung dan Parpol Pengusung

Namun tidak cukup. Perkebunan yang sangat luas memerlukan banyak buruh. Dari sinlah, melalui calo-calo didatangkan buruh-buruh dari Jawa. Buruh-buruh itu ditipu, dijanjikan akan dipekerjakan di tambang emas, bukan membuka hutan untuk perkebunan. Tidak itu saja, para buruh yang umumnya tidak bisa membaca itu, diminta membubuhi cap jempol di atas kertas kontrak, yang tidak mereka diketahui isinya. Dan, itu menjebak mereka.

Ternyata, dalam kontrak tertulis itu, semua biaya yang dikeluarkan – di antaranya uang tinggal dan ongkos kapal ke Belawan – dianggap utang dan harus dibayar dengan memotong upah. Akibatnya, buruh-buruh terus-menerus terlilit utang. Gali lobang tutup lobang untuk sekadar makan. Ini juga memaksa kuli kontrak tidak bisa pulang ke Jawa. Beberapa di antaranya melarikan diri dan melawan.

Berbagai kasus pelarian kuli itu, mengkhawatirkan para tuan kebun. Mereka membentuk Deli Planters Vereeniging. Setahun setelah Perhimpunan Tuan Kebun Deli ini dibentuk, pada  1880, lahirlah peraturan Koelie Ordonnantie, yang di dalamnya terdapat Poenale Sanctie, yakni hukuman terhadap kuli yang melanggar kontrak.

Poenale Sanctie memberi hak tuan-tuan kebon menghukum. Tuan-tuan kebun kulit putih itu menentukan sendiri kesalahan kuli dan menjatuhkan hukuman sekehendaknya. Membantah, apalagi melawan mandor saja, merupakan pelanggaran.

Kasus-kasus kejahatan inilah yang ditulis Jan van Den Brand dalam brosur berjudul De Millioenen Uit Deli (Berjuta-juta dari Deli), yang menghebohkan Belanda.

Perjuangan Den Brand melalui pemberitaan yang berpihak pada kemanusiaan, juga investigasi Husni Thamrin di Deli, memaksa Hindia-Belanda menghapuskan Koelie Ordonnantie dan Poenale Sanctie pada 1930.

Sebagai wartawan yang gigih, Van den Brand tidak sempat menyaksikan Poenale Sanctie dihapus. Dia meninggal pada 17 Mei 1921 di Bogor, sembilan tahun sebelum peraturan penyiksaan kuliah dihapus.

Dua hari lalu, saya menyusuri Kesawan melihat jejak-jejak kelam perbudakan di Deli. Di depan gedung Deli Planters Vereeniging (kini kantor Badan Kerja Sama Perusahaan Perkebunan Sumatera) di sudut Jl Pemuda, saya berdiri lama, membayangkan tuan-tuan kebun mengatur siasat, menghitung keuntungan, bergembira, setelah itu menikmati santapan lezat.

Saat yang sama di perkebunan, kuli-kuli disiksa, diseret kuda, ditelajangi — tidak kecuali kuli perempuan — yang di antaranya bunuh diri karena menanggung derita dan malu.

Rintihan mereka, terdengar hingga kini ..

Medan, 7 Desember 2021.

 

—*Penulis adalah Wartawan Senior*—