Beranda KOLOM Opak Pak Maat

Opak Pak Maat

Pak Maat, Penjual Opak di Kendal dan dagangannya. Foto: istimewa
Khafid Sirotudin. Foto:dok

Oleh : Khafid Sirotudin*

Setelah beres-beres urusan rumah, pagi ini kami sengaja jalan-jalan keliling Weleri. Sekalian mencoba motor Yamaha Alfa buatan 1982 yang baru selesai masuk bengkel sebulan lebih. Kami sengaja menuju ke arah Sukorejo yang kondisi jalannya menanjak cukup tajam.

Hitung-itung mencoba motor yang baru selesai bongkar mesin. Di daerah Besokor, dekat tempat ziarah umat Katolik Goa Maria Suci, kami mampir di rumahnya Yusuf Efendi. Teman kecil (TK ABA dan MI/SD Muhammadiyah Weleri) pemilik wahana out bound Talang Gantung Adventure untuk anak-anak sekolah.

Kota Weleri (dulu Kawedanan) adalah wilayah urban. Memiliki potensi sumberdaya alam dan ekonomi yang paling maju di kabupaten Kendal. Sebelum dimekarkan menjadi 2 (Weleri dan Rowosari), kecamatan Weleri memiliki lahan sawah terluas sebagai penghasil padi kabupaten Kendal. Di sebelah utara wilayah pantai (sekarang masuk kec. Rowosari), ingin menikmati udara segar pegunungan ada di wilayah selatan. Kami biasa jalan-jalan pagi di tengah pematang sawah melewati jalan usaha tani, hanya 25 di belakang rumah.

Infrastruktur dan fasilitas sosial ekonomi paling lengkap. Ada Stasiun KA, terminal bus, pasar tradisional terbesar, bendungan, embung, belasan Bank Umum dan BPR, Kospin/KJKS, Rumah Sakit dan Panti Asuhan semuanya tersedia.

Weleri merupakan wilayah paling barat dari Kabupaten Kendal berbatasan dengan Batang yang dipisahkan aliran sungai Kalikuto. Kabupaten Kendal memiliki potensi SDA yang lengkap, yaitu wilayah pantai-laut- tambak, dataran rendah-persawahan, serta pegunungan- perkebunan-kawasan hutan. Tidak semua kabupaten/kota di Jawa Tengah memiliki ketiganya.

Sejak lima tahun terakhir, beberapa kali terjadi bencana tanah longsor di wilayah selatan- barat, khususnya  Pageruyung dan Sukorejo. Khususnya di kanan kiri bahu Jalan Provinsi yang menghubungkan Weleri menuju Sukorejo sampai Candiroto kabupaten Temanggung. Di beberapa ruas jalan sempat pula terjadi ambles. Bahkan pada 3 tahun terakhir disaat musim penghujan tiba acapkali terjadi banjir di dukuh Pakis desa Sidomukti kecamatan Weleri. Sempat menimpa kompleks PAY Muhammadiyah Putri dan kampung sekitarnya.

Kami tidak  mengetahui secara persis adakah korelasi terjadinya tanah longsor, jalan ambles dan banjir dengan aktivitas pertambangan di wilayah Pageruyung. Yang jelas kegiatan penambangan galian C di Weleri Selatan dan wilayah Pageruyung meningkat pesat sejak menjelang dimulainya pembangunan jalan tol Trans Jawa, khususnya ruas Batang-Semarang.

Meski sekarang pembangunan jalan tol sudah selesai, namun aktivitas penambangan galian C masih banyak yang beroperasi. Entah penambangan resmi sebagaimana terpampang dalam papan informasi dari Dinas ESDM Provinsi Jateng di lokasi penambangan, atau setengah resmi karena pengelola lupa atau tidak menampilkan papan perijinan dari instansi berwenang.

Sebagian lokasi penambangan sudah terlihat berhenti dan meninggalkan pemandangan bekas penambangan yang memprihatinkan. Kita bisa melihat dengan kasat mata jika melewati jalan raya dari Weleri menuju Sukorejo. Atau melewati ruas Jalan Kabupaten dari desa Sidomukti menuju Sokokarang, Pagergunung, Surokonto Wetan, Surokonto Kulon, Kebon Gembong, perkebunan karet dan pala PTPN IX sampai pertigaan depan kantor kecamatan Pageruyung.

Desa Kebon Gembong adalah salah satu desa penghasil durian endemik yang lezat. Warga lokal sering menyebutnya dengan durian Kumbokarno yang berukuran besar, dagingnya tebal dan manis rasanya. Ada juga Durian Ketan yang ukurannya tidak begitu besar, kulitnya hijau dan rasanya manis-pahit dengan tekstur buah agak lengket seperti ketan. Dulu kami dan teman- teman Weleri seringkali berburu durian lokal Kendal ketika musim panen tiba. Biasanya akhir bulan Oktober hingga Awal Januari. Membeli dan makan di teras rumah penduduk lokal sungguh suatu agro wisata yang tiada tara.

Pada tahun 2013 kami bersama teman-teman Aseibssindo pernah membagikan gratis 2.000 bibit durian varietas Matahari dan 3.000 bibit alpukat untuk masyarakat petani Pageruyung, Sukorejo dan Patean. Tujuan kami untuk menggantikan tanaman durian yang buahnya kurang bagus dan memberikan alternatif penghasilan dengan tanaman alpukat. Menurut Tukiman, teman kami warga Pageruyung yang kami pasrahi untuk membagikan dan memantau perkembangan tanaman, beberapa ratus tanaman durian sudah mulai berbuah pada tahun 2018 lalu. Entah masih ada berapa ratus pohon durian yang mampu bertahan dan berkembang hingga sekarang.

 

Opak Singkong dan Rengginan

Di saat kami asik ngobrol dengan Yusuf di teras rumahnya, datang seorang tua sambil memikul keranjang.

Belakangan kami tahu setelah beliau memperkenalkan diri. Namanya Maat (67 tahun) asal dari desa Pucakwangi kec. Pageruyung.

“Nggowo opo pak (membawa dagangan apa)” tanya Yusuf sambil meminta anaknya untuk membuatkan teh.

Opak, rengginan kalih kerupuk” jawabnya lalu duduk di kursi. Kamipun bertiga ngobrol ‘ngalor-ngidul’ (bahan pembicaraan tanpa tema) sambil menikmati segelas teh hangat dan rokok kretek.

Opak, rengginan dan kerupuk berbahan baku pangan lokal merupakan salah satu produk UMKM Pageruyung. Opak  dan kerupuk berbahan baku singkong atau tepung “mbulung” (pohon Aren), serta rengginan berasal dari ketan putih/hitam.

“Menawi mboten sadeyan, kulo kalih tiyang wedok mburuh tanem utawi ngasak guris pari sakbare panen (Kalo tidak jualan, saya dan istri menjadi buruh tani atau mencari sisa padi di sawah setelah dipanen)” terangnya.

“Menawi sadeyan ngaten angsal pinten pak (jika jualan dapat keuntungan berapa)” tanya kami.

“Alkamdulillah lumayan kathah mas, suwidak ewu saged nyepeng (Alhamdulillah cukup banyak, Rp 60 ribu bisa saya peroleh)” jawabnya dengan mimik muka penuh rasa syukur.

Pak Maat tidak setiap jualan keliling selalu menyambangi kampung Besokor. Jika hari ini disini, maka pada kesempatan berikutnya dia keliling di desa lain. Setidaknya 3-4 pekan sekali baru keliling di tempat yang sama. Beruntungnya semua barang dagangan bersifat konsinyasi dari tetangganya di desa Pucakwangi. “Sakniki radi sepen awit lisah regine munggah mboten karuan (sekarang agak sepi sejak minyak goreng harganya naik tidak karuan” ungkapnya. “Pinten regine teng mriko (Berapa harga disana)” tanya kami.

“Pak nuwunsewu sedanten dagangan njenengan nyuwun tulung diparingke mejo mriki, kulo badhe ngertos kados menopo (Pak tolong semua dagangan diletakkan di atas meja sini, saya mau mengetahui barang dagangan yang dijual)” pinta kami.

Satu per satu dagangan dikeluarkan dari keranjang dan ditata di atas meja. Ada opak singkong 11 ikat, rengginan ketan hitam/putih 13 plastik dan kerupuk/emping ketela 13 bungkus. 2 bungkus rengginan, 3 ikat opak dan 2 plastik kerupuk sudah terjual sebelum pak Maat ketemu kami.

“Pun sakniki mang etung sedanten regine pinten (sudah sekarang dihitung semua harganya berapa)” pinta kami.

Pak Maat biasa menjual opak Rp 10 ribu 3 ikat, rengginan Rp 10.000 sebungkus dan kerupuk mentah Rp 5.000 sebungkus.

“Sedanten Rp 225.000” kata pak Maat setelah menghitung satu per satu.

“Nggihpun sakniki dibungkus tas kresek, niki artone Rp 250.000 (ya sudah sekarang dibungkus pakai tas plastik, ini uangnya Rp 250 ribu)” pinta kami sambil menyerahkan uang 5 lembar uang kertas @50-ribuan.

Opak, rengginan, kerupuk dan aneka kudapan berbahan baku pangan lokal banyak dihasilkan di berbagai desa dan kecamatan se kabupaten Kendal. Seandainya ada aksi nyata dan program pendampingan yang serius berkelanjutan dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian atau Dinas Pertanian dan Perkebunan Pemerintah Daerah, tentu akan berhasil guna dan berdaya saing unggul. Terutama terkait dengan kualitas produk, packaging dan jaringan pemasaran.

Pak Maat hanyalah salah satu contoh, potret wajah diri dari 50 juta lebih rakyat Indonesia yang saat ini masih (biasa) hidup dengan $-1-US (1 Dolar USA/Rp 14.500) sehari. Masih banyak pak Maat lain yang hidup di berbagai daerah, berdiam pada ribuan pulau, tinggal di puluhan provinsi di seluruh pelosok negeri. Sungguh mereka semua anak bangsa yang “perwira” (tidak banyak meminta dan menuntut).

Mereka semua pekerja keras dan tidak mau menganggur di rumah, meski hasil kerjanya hanya cukup memenuhi kebutuhan pokok 1-3 hari. Semangat kerja pak Maat dan tidak mau menjadi pengemis patut diapresiasi.

Di saat masih banyak orang yang mau dan berani membayar mahal atau menyuap pejabat hanya untuk sekedar menjadi aparatur pemerintah di tingkat desa atau kabupaten/kota. Apa yang kami temui pagi ini sungguh menjadi inspirasi agar kami tidak terbiasa berpangku tangan, giat bekerja dan tidak bermalas- malasan dalam mencari rejeki dari Allah Tuhan Semesta Alam.

Pada sisi lain, pak Maat menyadarkan kami betapa masih banyak saudara kita sebangsa se tanah air yang belum hidup makmur dan jauh dari sejahtera secara ekonomi.

 

Durian Batang

Kami kembali ke rumah. 2 tas plastik besar barang dari pak Maat kami letakkan di tengah. Ditumpuk di ruang longgar antara stang motor dengan jok. Sampai di rumah, Zin tetangga kami telah terlihat merapikan tanaman di halaman rumah.

Disamping pekerjaan pokok memproduksi peyek rebon dan intip goreng kesukaan keluarga kami, Zin memiliki ketrampilan dalam merapikan tanaman bonsai. Minimal sebulan sekali dia merawat puluhan tanaman yang kami pelihara.

Diminta atau tidak, ada kami di rumah atau sedang pergi, dia rutin melakukan pekerjaan itu. Dan berlangsung sudah hampir 10 tahun. Kami tinggal di dusun Pagersari desa Penaruban Weleri sudah 21 tahun. Setahun setelah Meutia Hafidz anak ketiga kami lahir. Tepatnya sejak 30 Maret 2000.

Tiba-tiba datang Ahadin dengan keranjang bambu di motornya. “Meh nawakke duren seko Batang om (mau menawarkan durian dari Batang om)” sapanya to the point.

Buah durian setelah dipetik dari pohon, masih membutuhkan resting ‘dialumke’ (diistirahatkan agar getahnya layu) selama 2-3 hari sebelum dikonsumsi. Kecuali buah durian yang sudah terlanjur “mlekah” (pecah/terbuka kulitnya) di pohon. Maka harus segera dimakan atau diambili buahnya lalu disimpan di kulkas atau frezer. Jika tidak dilakukan, maka rasanya akan berubah menjadi asam.

Kami dan Zin rehat sejenak menikmati buah durian. Pakdhe Ahadin si penjual durianpun ikut menikmati, meski hanya sepotong durian. Nikmatnya makan durian rame-rame. Kami biasa membeli durian dari pakdhe Ahadin yang menjual dagangannya keliling kampung. Memakai sepeda motor yang diberi keranjang dan ditambatkan pada kanan-kiri jok bagian belakang.

Selain efisien tidak perlu datang ke pasar atau desa, kami juga bisa pesan untuk didatangkan durian dari berbagai daerah di kabupaten Kendal, Batang, Semarang dan Temanggung.

Harganyapun wajar dan secara jujur disampaikan berapa dia kulakan dari pengepul atau petani di pedesaan. Sebutir durian mengambil keuntungan 10-20 ribu sesuai kualitas rasa, jenis, varietas dan ukuran. Sebuah laku muamalah yang berkeadaban. Jujur, terbuka, adil dan menguntungkan, yang insya Allah memberikan keberkahan kedua belah pihak

 

Berbagi Pangan Lokal

Siang menjelang sore, putri kami Meutia ijin mau pergi ke Semarang. Pamitnya mau menghadiri pertemuan Praja IPDN se karesidenan Semarang dari berbagai angkatan. Tempatnya di RM Kampung Laut, restoran sea food yang kesohor di Semarang. Lokasinya di dekat akses bandara Ahmad Yani, satu kompleks dengan Taman Maerokoco. Semua lahan disitu milik PT PRPP, salah satu Perusda yang dimiliki Pemprov Jateng.

Setelah masuk ke dalam rumah sebentar, kami keluar membawa 2 plastik besar semua jajanan mentah yang tadi pagi kami beli dari pak Maat.

“Mbak Tia ini amanat bapat tolong dibagikan ke teman kamu semua” pesan kami.

“Niki menopo bapak kok kathah sanget (ini apa bapak kok banyak banget)” tanya mbak Tia. “Ini opak, rengginan dan kerupuk singkong yang bapak beli tadi pagi” jawab kami. “nggih siap bapak” jawab putri kami sambil memasukkan ke dalam mobil.

Memasyarakatkan pangan lokal dan makanan khas daerah atau membiasakan sikap berbagi bagi anak-anak millenial harus dicontohkan secara nyata dan dibiasakan di dalam keluarga. Agar generasi penerus kita tidak kehilangan jatidiri dalam budaya makanan serta mengenal aneka pangan lokal dan tradisional.

Berbagi oleh-oleh atau buah tangan berupa aneka jenis olahan pangan lokal, selain mampu menumbuhkan sense of behaviour pada diri anak, juga memiliki nilai/value lebih daripada kita memberikan uang. Meski barangkali nilai uang yang kita berikan jauh lebih besar dari harga pangan lokal yang kita sedekahkan.

Wallahu’alam

 

*)—Penulis adalah Pemerhati Pangan, Praktisi Agribisnis, Pembudidaya Lebah Madu Klanceng.