SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Wacana penarikan jatah tanah bengkok perangkat dan kepala desa yang tertuang dalam Perda No 76/2017 juga menuai penolakan dari perangkat dan kades di Sragen Utara.
Mereka menolak penarikan bengkok karena selama ini menjadi sarana kegiatan sampingan para abdi pemerintahan desa.
Meski secara hasil, sebenarnya mereka menilai pengelolaan tanah bengkok di kawasan Sragen Utara tidak sebanyak tanah bengkok di selatan Bengawan yang lebih subur.
Pendapat itu dilontarkan dari perangkat Desa Tempelrejo, Kecamatan Mondokan, Sarjono.
Perangkat yang menjabat sebagai Kaur itu menyampaikan sebenarnya jika dikelola atau digarap sendiri, jatah tanah bengkok di wilayahnya pun hasilnya juga lebih banyak impas atau bak buk (istilah Jawa).
Namun bagi perangkat desa yang tidak punya sawah dan sampingan, jatah bengkok itu sangat berarti karena bisa menjadi lahan untuk berkegiatan dan bisa memberi harapan untuk panen.
“Keuntungan kalau dikelola sendiri ya sebatas untuk kegiatan sampingan bagi yang tidak punya lahan. Karena kalau dikalkulasi hasilnya mung bak buk. Wong biaya dengan hasilnya kadang selisihnya cuma sedikit. Tapi kalau ada garapan bengkok itu minimal ada pengarep-arep bisa panen. Kalau orang Jawa itu bisa panen dan punya gabah itu sudah ayem. Istilahnya bisa untuk mangan awet, cokot-cokot alot,” paparnya kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , Minggu (26/12/2021).
Ia menggambarkan kondisi tanah bengkok di wilayah Utara Bengawan termasuk di desanya, bisa terbilang tandus.
Berbeda dengan di selatan bengawan yang subur dan bisa ditanami 3 kali setahun, jatah bengkoknya maksimal hanya bisa ditanami dua kali dalam setahun.
Dari 5000 M2 jatah bengkoknya, jika ditanami padi biasanya dapat 60 zak sekali panen atau tiga bulan waktu musim hujan.
Hasil itu jika dikalkulasi dengan biaya produksi dan tenaga sendiri tanpa dihitung, juga tak banyak keuntungan.
Sedangkan pada saat kemarau, sudah tidak bisa ditanami karena tidak ada penopang irigasi. Sementara sumber-sumber air di wilayahnya asin semua sehingga tak bisa dijadikan untuk irigasi.
Tipikal tanah bengkok yang tandus itu juga memaksa sebagian besar jatah bengkok kadang hanya bisa ditanami tebu. Tanaman tebu sendiri baru bisa dipanen setahun sekali dengan biaya produksi yang cukup tinggi.
“Kalau dijual lelang, pembeli maunya 3 tahun. Kalau cuma setahun mereka nggak mau. Jatah bengkok saya itu kalau dijual lelang 3 tahun paling banter cuma laku Rp 11 juta. Tapi kalau disuruh memilih, kalau bisa ya tetap dikasih jatah bengkok. Biar bisa dikelola dan ada kegiatan kami. Kalau enggak ada kegiatan, nanti bisa-bisa banyak perangkat yang stres karena sepaneng nggak ada kegiatan setelah ngantor,” urainya.
Senada, Kades Tempelrejo, Agung Dwi Harjanto juga menyampaikan lebih memilih jika jatah tanah bengkok tidak ditarik tapi tetap diberikan untuk dikelola masing-masing.
Meski tidak sesubur di selatan Bengawan, jatah bengkok itu setidaknya masih bisa memberi harapan panen jika dikelola sendiri.
Sementara jika ditarik lalu dilelang dan dikembalikan lagi dalam bentuk tunjangan, nominalnya pun juga tidak seberapa.
“Pernah ada perangkat kami yang jatah bengkoknya dijual lelang 5 tahun hanya lalu Rp 7 juta. Kalau dikembalikan dalam bentuk tunjangan dan dibagi 60 bulan, tiap bulan dihitung-hitung hanya dapat Rp 116.000. Lha padahal namanya di desa undangan hajatan itu kalau ramai sehari bisa 4 sampai 5 tempat,” ujarnya.
Praja di Tanon Demo
Sebelumnya, suara penolakan lebih dulu dilontarkan puluhan perangkat desa yang tergabung dalam paguyuban perangkat desa (Praja) di Kecamatan Tanon.
Mereka sempat menggelar aksi demo damai menolak penarikan bengkok di depan kantor kecamatan setempat, Jumat (3/12/2021) silam.
Mereka menuntut Pemkab membatalkan peraturan bupati (Perbup) Nomor 76 tahun 2017 yang salah satunya mencantumkan penarikan tanah bengkok untuk jatah perangkat desa.
Dalam tuntutannya, para perangkat desa itu menolak tegas aturan penarikan tanah bengkok di Perbup 76/2017. Mereka menilai aturan itu tidak relevan dengan UU Nomor 6 Tahun 2014 dan PP 47 tahun 2015 serta melanggar ekonomi desa.
Ketua Praja Kecamatan Tanon, Agus Salim mengatakan lelangan tanah bengkok juga berpotensi merugikan kepala desa, perangkat desa dan pemerintah desa.
Sebab selama ini, tanah kas desa sudah turun temurun sebelum merdeka menjadi bondo desa. Kemudian dalam SK pengangkatan, sudah tertulis jatah bengkok menunjuk lokasi dan luas.
Sehingga itu melekat pada kepala desa dan Perangkat desa sampai yang bersangkutan berhenti sesuai PP nomor 11 tahun 2009.
“SK kepala desa dan perangkat desa sudah mencantumkan tanah bengkok melekat menjadi tunjangan. Bila diuangkan gaji maka hasilnya tentu akan lebih kecil daripada tunjangan. Ini akan sangat merugikan perangkat desa,” paparnya.
Agus menerangkan dalam PP nomor 7 tahun 2015 telah tertuang bengkok tidak termasuk dalam APBDes.
Hasil lelang dinilai hanya akan menguntungkan Pemda dan Pemdes dengan estimasi 5 % dari hasil seluruh lelangan diambil 3 % untuk Pemdes dan 2% untuk kecamatan.
“Dari hitungan kasar saja, apabila hasil lelangan Rp 350 juta x 5 persen sudah Rp 17,5 juta. Dikalikan 200 desa hasilnya sudah Rp 3,5 miliar. Artinya adanya Perbup 76/2017 dan Surat Edaran Sekda nomor 441/827/030/2021 itu berdampak kepala desa dan perangkat desa dirugikan Rp 3,5 miliar,” urainya.
“Harapan kami, Perbup 76 itu dikaji ulang. Bahkan kami minta dibatalkan karena akan sangat merugikan teman-teman kades dan perangkat desa pada umumnya. Ada potensi ketidakadilan apabila nanti aturan penarikan bengkok itu diterapkan,” tandasnya. Wardoyo