Catatan : Ilham Bintang*
Urusan minyak goreng tidak ada habis-habisnya. Mengingatkan judul novel wartawan legend, Mochtar Lubis, “Jalan Tak Ada Ujung” (1952). Novel berlatar perang kemerdekaan Indonesia yang bercerita tentang Guru Isa, guru sekolah yang membantu para gerilyawan namun hidup dalam ketakutan.
“Ketakutan” serupa kini dialami para suami di seluruh Indonesia sejak kelangkaan minyak goreng terjadi. Para kepala rumah tangga stres tidak bisa tenang hidupnya, menghadapi istri – istri yang “merepet” sepanjang hari mengutuki ironi kelangkaan minyak goreng. Para suami juga khawatir kondisi itu bakal lebih runyam, merembet bikin imunitas ibu-ibu merosot, padahal itu lebih berbahaya di masa pandemi yang juga tiada ujung.
Kelangkaan (mahalnya minyak nabati ) memang merupakan ironi di Indonesia. Negara ini produsen sawit terbesar di dunia. Kita tahu pemerintah memang sudah turun tangan mencoba mengatasi. Sudah menggunakan segala jurus namun belum membuahkan hasil. Sudah empat bulan keadaan runyam ini berlangsung.
Janji Lutfi
Saya beberapa kali menonton Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi bicara di layar televisi, menjanjikan solusi (akan membanjiri pasar minyak goreng dengan harga normal). Meyakinkan. Ibaratnya omong hari ini, esok paling telat keadaan sudah berubah baik. Namun, hasilnya tiap kali itu hanya bikin ibu- ibu rumah tangga tambah meradang. Hanya memperburuk keadaan. Saya malu pada istri. Tidak ada janji Lutfi yang terbukti.
Pedagang di pasar tradisional maupun warung-warung mengaku tak menjual minyak goreng murah sesuai program pemerintah dan janji Menteri Perdangangan di televisi. ” Beli saja di televisi,” kata pedagang ketus.
Kalaupun ada stok minyak goreng di pasar tapi harga yang ditawarkan masih dengan harga yang sudah melonjak. Ini bukan kata saya. Tapi begitu berita wartawan di media di seluruh daerah di Tanah Air. Berita sudah terkonfirmasi dengan mudah karena itu tadi: hasil “berburu ” ibu – ibu di banyak pasar.
Selebihnya, media banyak menyajikan polemik panjang para pakar kebijakan publik dan stake holder terkait minyak goreng itu. Para produsen berdalih, kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri menyesuaikan dengan patokan harga minyak sawit (CPO) global. Di pasaran, harga minyak goreng berada di kisaran Rp 20.000 per liter, jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) Kementerian Perdagangan sebesar Rp 11.500 per liter.
Subsidi pemerintah triliunan rupiah, seperti cuma mengalir ke laut. Hingga pun kebijakan berubah yang menetapkan “domestic market obligation” (DMO) dan “domestic price obligation” (DPO) yang efektif 1 Februari. Tetap saja tak memperbaiki keadaan.
DMO adalah kewajiban produsen yang melakukan ekspor CPO untuk memasok 20 persen kuota ekspornya untuk kebutuhan dalam negeri. Sedangkan DPO aturan yang menerapkan harga jual CPO di dalam negeri sebesar Rp9.300 per kilogram dan Rp10.300 per liter.
Dalam keterangannya, tanggal 6 Februari lalu Muhammad Lutfi, mengatakan aturan DMO dan DPO CPO solusi untuk mengamankan stock minyak goreng di dalam negeri. Dia menjamin tidak akan mengganggu kegiatan ekspor CPO ke luar negeri. Sudah lebih dua minggu setelah DMO dan DPO CPO tak menghentikan ibu – ibu rumah tangga merepet .
Tidak ada itu minyak goreng murah .
Program minyak murah pemerintah justru menambah kelangkaan. Di berbagai daerah masyarakat justru mengeluh kesusahan mendapatkan komoditas tersebut. Di ritel modern, rak-rak komoditas lebih sering terlihat kosong. Sejurus dengan keadaan pedagang pasar tradisional maupun warung-warung.
Situasi tetap sama sejak bulan November tahun lalu, awal minyak goreng hilang di pasar. Akhir November, kita catat harga minyak goreng sudah berada di level Rp 17.000 per liter. Harga itu terus melonjak hingga akhir tahun 2021 yang dipatok dengan harga Rp 18.000 sampai Rp 19.000 per liter.
Tren itu berlanjut hingga masuk tahun 2022. Di beberapa daerah, harga minyak goreng bahkan menembus Rp 25.000 per liter. YLKI ( Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) sampai mencurigai ada praktik kartel di balik kelangkaan dan meroketnya harga minyak goreng. Kita pun menduga sama. Banyak pihak yang menduga begitu.
“Keadaan itulah yang kita pantau dan awasi ketat sekarang. Mulai hari ini, semua pejabat Kemendag turun ke lapangan untuk mengetahui masalah di masing – masing wilayah dan mengambil langkah,” kata Suhanto, Sekjen Kementerian Perdagangan, Kamis( 17/2) malam.
Suhanto berada di Surabaya untuk tugas itu ketika saya hubungi semalam. Sedangkan Mendag Muhammad Lutfi berada di Makassar untuk tugas sama. Konfirmasi Suhanto mengenai keberadaan Mendag sekaligus menjadi alasan mengapa Muhammad Lutfi berhalangan hadiri rapat gabungan di DPR kemarin. “DPR kirim undangan satu hari sebelum rapat, sementara pak Mendag sudah punya agenda yang harus beliau hadiri di Makasar dan di Surabaya. Secara formal Kami sdh berkirim surat untuk di re schedule, ” tambah Sekjen Kemendag itu.
DPR Kecewa
Sebetulnya, tidak hanya minyak goreng, tetapi hampir semua kebutuhan sembilan bahan pokok mengalami lonjakan harga belakangan ini. Mencemaskan banyak kalangan karena solusi belum ditemukan sementara bulan Ramadhan semakin dekat, yang pada bulan puasa itu biasanya konsumsi sembilan bahan pokok justru semakin meningkat.
Rapat gabungan DPR RI Kamis (17/2) kemarin terpaksa ditunda. Padahal, rapat itu melibatkan Komisi IV, Komisi VI, dan Komisi VII. Melibatkan Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian ESDM. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Menteri ESDM Arifin Tasrif. Hadir pula Ketua Komisi IV Sudin, Wakil Ketua Komisi VI Martin Manurung, dan Ketua Komisi VII Sugeng Suparwoto.
Para anggota dari tiga komisi dan para pejabat eselon I dari tiga kementerian tersebut juga sudah hadir. Rapat seyogyanya membahas masalah kelangkaan pangan, harga pangan, dan hal-ihwal tentang pangan secara keseluruhan. Siaran Pers DPR-RI yang diterima redaksi media semalam, menyesalkan dan menyatakan kekecewaan atas ketidakhadiran Mendag.
“Rapat terpaksa kita undur karena Mendag tidak hadir padahal menteri-menteri yang lain sudah hadir semua. Para menteri itu juga ada acara dan membatalkannya untuk hadir demi rapat yang sangat penting ini. Ini menyangkut hajat hidup rakyat Indonesia. Sikap menteri perdagangan jelas mengecewakan dan kami sesalkan,” kata Rachmat Gobel, Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem yang memimpin rapat tersebut.
Masih kata Rahmat, soal pangan ini tidak bisa diselesaikan oleh satu lembaga tapi harus lintas sektoral. “Karena itu kita membuat rapat gabungan. Soal kedelai, dulu Indonesia pernah swasembada. Mengapa sekarang 80 persen impor? Mengapa petani bisa kapok menanam kedelai? Pasti ada sebabnya,” katanya. Soal minyak goreng, hingga kini masih belum selesai, masih langka dan masih mahal padahal sudah ada subsidi. “Ini semua butuh penjelasan dari pemerintah, terutama Menteri Perdagangan. Kita bahas, kita cari solusinya bersama. Tapi ini malah tidak hadir. Tentu saja mengecewakan,” kata Gobel lagi.
Sejauh catatan kita, ada beberapa persoalan yang pernah membebani masyarakat, hanya bisa diatasi oleh Presiden Jokowi. Tidak cukup hanya menteri maupun anggota parlemen. Tetapi entah kenapa kita belum mendengar Jokowi terusik. Tak sepatah kata pun yang pernah kita dengar terlontar dari Presiden merespons kelangkaan minyak goreng dan kebutuhan pokok masyarakat lainnya. Padahal, urusan begitu Jokowi lah jagonya.
Sudah dibuktikan beberapa kali menurunkan alat-alat kesehatan, seperti tes swab, vaksin, dan lain sebagainya. Bikin pedagangnya yang orang-orang kuat, kabarnya malah ada lingkaran Istana, gigit jari. Ayolah Presiden, “maturo” ( bicara) supaya kelangkaan dan lonjakan harga sembilan bahan pokok, khususnya minyak goreng, cepat menemukan ujung. Tidak seperti nasib Isa, guru di dalam novel ” Jalan Tak Ada Ujung” Mochtar Lubis.(*)
–*Penulis Adalah Wartawan Senior–