SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Kasus kisruh jual beli tanah warisan milik Alm Setu di Desa Katelan, Tangen yang sertifikatnya disobek jadi dua oleh Kadus setempat, Nano Widyanto, makin memanas.
Dua dari 9 ahli waris menggeruduk balai desa setempat untuk menuntut Kadus Nano menyerahkan sobekan sertifikat dan menyelesaikan persoalan itu, Kamis (17/2/2022).
Ahli waris yang datang ke balai desa adalah Suwarno Notil dan kakaknya, Suharni didampingi putranya Joko Priyono.
Mereka ditemui Kades Katelan, Kunto Cahyono. Sempat menunggu beberapa saat, mereka akhirnya dipertemukan dengan Kadus Nano Widyanto. Nano adalah anak dari salah satu ahli waris, Sukiyem.
Dengan difasilitasi Kades, perwakilan ahli waris, Joko Priyono menanyakan ke Kadus soal pertanggungjawaban atas sertifikat yang sudah disobek jadi dua dan hingga kini sobekan belum diserahkan.
Padahal sesuai hasil mediasi di Polres, Kadus menyatakan sanggup menyerahkan sobekan sertifikat jika laporan dicabut.
Sebelumnya, Nano mengklaim sudah membeli tanah atas nama alm kakeknya itu dengan harga Rp 30 juta. Hal itulah yang membuatnya merasa punya hak dan tidak merelakan tanah warisan seluas 3.240 M2 itu dijual oleh 9 ahli waris.
“Sekarang saya mewakili ibu saya. Saya datang sebagai warga minta Nano sebagai Kadus untuk menyelesaikan. Karena dulu saat mediasi di Polres, dia minta laporan dicabut katanya sertifikatnya mau dikasih, tapi ini malah dipersulit sertifikat nggak diberikan. Sekarang saya tanya, kalau kamu merasa sudah beli, mana kuitansinya. Mana bukti pernyataan jual belinya?” tanya Joko Priyono ke Kadus Nano.
Ia juga menantang Kadus Nano menunjukkan surat pernyataan atau bukti kepemilikan tanah itu.
Saling Ngotot
Mendapat cecaran itu, Kadus Nano hanya tersenyum. Ia menjawab bahwa kasus itu sudah dimediasi di kepolisian. Dia juga mengaku tidak membawa sertifikat tanah yang disengketakan.
“Saya sebagai bayan, saya tidak bisa menjawab. Saya minta Pak Lurah menjembatani. Soal tanah itu, saya merasa berhak karena saya sudah beli. Ada kronologinya, ada sejarahnya,” ujarnya.
Nano juga mengakui dirinya memang tidak memiliki bukti kuitansi atau pernyataan jual beli. Namun ia juga ngotot merasa punya hak karena sudah membayar Rp 30 juta tanah tersebut.
Saat ditanya Joko dan Suwarno, kepada siapa uang Rp 30 juta itu diserahkan, Nano hanya menyebut uang Rp 30 juta itu dibayarkan 3 kali.
“Rp 5 juta diterima Suharni (ibu Joko), Kedua Rp 10 juta diterima Suharni itu ada saksinya bapaknya Joko. Terakhir membayar 15 juta kepada Sami saksinya suaminya Sami, Sandino. Jangka 5 tahun juga nggak ada masalah. Baru agak ramai ketika ada rumor tanah itu mau dibeli orang,” katanya.
Mendengar itu, Suharni langsung membantah menerima uang dari Kadus. Nenek itu justru menyumpahi Kadus Nano yang dianggapnya telah tega mempermainkan orangtua.
“Dulu memang pernah dia (Nano) mau beli nawar Rp 60 juta, disuruh mbayar Rp 80 juta nggak mau. Kalau dia ngaku sudah bayar Rp 30 juta, uangnya yang nerima siapa. Terus bukti kuitansi atau surat jual belinya juga nggak ada. Apa itu sah?,” timpal Suwarno.
Karena saling ngotot dan tidak ada kesepakatan, mediasi siang itu berakhir tanpa hasil.
Baik Joko, Suharni dan Suwarno menegaskan sudah siap untuk kembali melanjutkan laporan ke Polres karena tidak ada itikad baik dari Kadus untuk menyelesaikan.
“Karena tidak selesai, kami akan lapor ke ranah hukum lagi. Sampai ke ujung dunia akan kami perjuangkan,” imbuh Joko.
Sementara, Kades Kunto Cahyono sempat menyarankan agar persoalan itu sebaiknya diselesaikan dengan damai dan kekeluargaan.
Sebab bagaimanapun semua masih berkerabat sehingga akan lebih baik dirembug bersama bagaimana baiknya.
Soal klaim Kasus merasa memiliki hak karena sudah merasa membayar, Kades menyebut dalam hukum jual-beli tanah, bukti kuitansi atau surat jual beli menjadi mutlak.
Jika tanpa ada kuitansi, apalagi ahli waris belum tandatangan semua, maka proses itu juga tidak akan sah.
“Karena yang namanya membeli warisan, sepakat tidak ada persetujuan ahli waris, nggak akan bisa. Karena sertifikat itu masih atas nama Mbah Suto. Makanya karena ini masih saudara semua, silakan dirembug baik-baik. Kalau Pak Bayan merasa sudah membiayai Mbah Setu waktu di rumah sakit, ya habisnya berapa silakan dirembug. Kalau sudah proses hukum, pasti ada yang kalah dan hubungan saudara akan putus,” ujarnya.
Meski sudah diberi saran, Kadus tetap bersikukuh pada pendiriannya. Meski tidak ada bukti kuitansi dan surat jual-beli, menurutnya tidak masalah karena dia merasa ada saksi dan kronologinya.
“Kalau nggak bisa selesai (dibalik nama) ya saya nggak masalah. Gak jadi sertifikat pun nggak masalah. Memang waktu itu saya tahu nggak ada buktinya, aku mengakui aku salah. Tapi saya merasa beli, saya sama-sama kuat karena saya keluar uang. Sah tidaknya saya enggak tahu,” ujarnya di hadapan Kades dan paman-pamannya.
Karena tidak ada titik temu, mediasi itu akhirnya bubar dengan saling memendam kekecewaan. Joko, Suwarso dan Suharni pulang dengan bersikukuh akan menempuh jalur hukum kembali.
Sedang Kadus Nano mengaku siap meladeni karena merasa punya hak dan tidak akan merelakan tanah itu dijual oleh ahli waris. Wardoyo