Oleh : Hendro Basuki*
Suatu hari di tahun 2011. Sambil berjalan menuju toilet, saya menggoda staf editor yang sedang mengudap gorengan kulit ayam.
“Wuih enaknya…,” kata saya sambil njawil pundaknya.
“Ini Mas, kalau mau!” jawab dia.
Dan, saya pun bergegas ke toilet.Lalu, ketika saya balik ke ruang editor, dia sudah tak ada. Teman yang lain mengatakan, dia diantar ke rumah sakit.
Lho sakit apa?. Teman sebangku mengatakan, dia mengeluh dadanya sakit. Oleh beberapa teman diantar ke rumah sakit yang jaraknya kurang dari 200 meter dari kantor.
Ruang redaksi hening sejenak. Belum genap 15 menit ada kabar teman saya yang hebat itu meninggal. “Tepat di traffic light depan kantor dia mengeluh sambil memegang dadanya,” kata pengantar telepon dari seberang.
Sesampai di rumah sakit, dokter mengatakan, teman saya sudah meninggal dunia. Peristiwanya begitu cepat. Dari saya goda sambil menjawil pundaknya sampai meninggal dunia tak lebih 30 menit. Teman saya yang lain menambahkan, sebelumnya almarhum baru saja minum merk K dua botol.
Dia wartawan muda. Spartan. Serba bisa. Semula wartawan di Salatiga, karena kehebatannya kariernya cepat, sampai akhirnya menjadi editor halaman satu. Pernah bersama saya dan Sdr Widiartono (Harian Wawasan ) meliput tsunami di Maumere dan Pulau Babi, Desember 1992. Dan, ia penggemar olahraga tenis, tapi eninggal di usia produktif.
Ternyata bukan hanya dia seorang yang mengalami nasib meninggal muda. Beberapa teman mengalami hal yang sama di usia yang masih produktif.
Sebuah Hipotesa
Saya berpikir, dan mengamati para wartawan baik yang masih kerja, atau pun yang sudah purna. Dan, sebenarnya tertarik untuk melakukan penelitian terkait jenis penyakit yang biasa diidap oleh wartawan. Hipotesa saya sederhana, bahwa ada korelasi model dan sistem kerja wartawan dengan jenis penyakit yang diidapnya.
Para wartawan muda, biasanya mendapatkan beban tugas yang berat dari para editor. Jarak liputan, lokasi liputan, tingkat kesulitan nara sumber, jadwal wawancara, tugas tambahan, menulis berita sendiri, dan mungkin berita gabungan jelas membutuhkan stamina prima.
Mereka yang berada dalam bidang liputan tertentu, sering kali membutuhkan waktu ekstra. Mereka yang liputan hukum kriminal, kadang harus menemani para reserse kepolisian hingga larut malam.
Apakah mereka semua disiplin dalam jadwal makan? Pasti tidak.
Jika mereka terbangun, lalu ada perintah untuk segera liputan, apakah masih sempat makan pagi, ngopi, dan merokok? Makan pagi tertunda.
Liputan sering melewati jam makan siang. Seandainya pun tepat, mungkin sedang mengikuti sebuah acara yang tersedia makan siang gratis. Pesta makan pun dimulai.
Demikian juga malam. Ada nara sumber yang mengajaknya makan. Ditolak nggak enak. Sudah terlanjur berelasi baik. Pesta lagi.
Jika 10 tahun wartawan ada di lapangan dengan rentang liputan yang luas, kita bisa membayangkan pola dan jenis makannya. Apalagi di kota-kota besar. Tidak ada kesempatan olahraga. Jika pun dipaksakan, banyak contoh beberapa peristiwa tragis di lapangan futsal, dan tenis seringkali terjadi.
Dan, jika Anda mengamati kerja wartawan, bisa mumet sendiri. Dulu saya begitu berbangga ketika ada seorang tokoh mengatakan, wartawan itu kerjanya 28 jam/hari!.
Hah!
Iya. Tidur pun mimpi liputan. Masih di kamar mandi, sudah mikir rencana liputan dan menyusun pertanyaan. Kapan punya waktu olahraga? Dengan catatan itu wartawan beneran. Bukan wartawan penunggu rilis (WPR).
Mengkhawatirkan
Dengan ritme kerja yang sedemikian keras, dan tidak diimbangi dengan pola dan jenis makanan yang terkontrol baik, mudah diduga wartawan akan memasuki fase kesehatan yang mengkhawatirkan.
Beberapa jenis penyakit yang melanda wartawan, setidaknya dalam pengamatan saya termasuk kategori penyakit berat. Yang biasa menerpa di awal adalah GERD (grastroesophageal reflux disease) yang ditandai dengan gejala sensasi terbakar di dada (mulas), biasanya setelah makan, yang mungkin lebih buruk di malam hari sakit dada, kesulitan menelan, regurgitasi makanan atau cairan asam, sensasi ada benjolan di tenggorokan. Gampangnya disebut asam lambung.
Repotnya, seperti yang pernah saya rasakan bertahun-tahun, adalah gabungan antara stres dengan pola dan jenis makanan.
Beberapa teman yang menyepelekan penyakit ini akan terus minum obat maag yang biasa dibeli di toko obat.
Akibatnya macam-macam, termasuk gagal ginjal. Teman saya yang lain membutuhkan cuci darah sekitar dua tahun sebelum akhirnya meninggal dunia. Juga di usia produktif.
Dan, beberapa teman yang lain mengidap imsonia akut karena setelah pulang larut malam tak bisa langsung segera tidur. Baru bisa tidur jam 04.00 atau 05.00 pagi, bangun jam 11.000, dan mulai bekerja lagi. Didorong juga dengan tekanan asap rokok yang tinggi, maka hanya tubuh manusia kuat tertentu yang bisa menopangnya.
Stres karena tekanan pekerjaan dan jenis penyakit yang muncul kemudian, dalam pengamatan saya, ternyata mengakibatkan munculnya penyakit yang mengkhawatirkan. GERD yang semata-mata dilihat sebagai asam.lambung ternyata bisa menghadirkan penyakit yang lain.
Sudah banyak penelitian tentang dampak liputan terhadap psikis, ataupun stres wartawan. Beberapa penelitian lebih banyak mengulas tentang kinerja wartawan berkaitan dengan jenis liputan dan dampaknya. Termasuk trauma pasca liputan tragedi.
Tetapi tidak banyak yang mengulas tentang misalnya usia produktif penyandang profesi wartawan, tingkat stres dan kesehatan wartawan di ruang redaksi, korelasi usia wartawan dan penyakit yang acap diderita. Atau mungkin penelitian tentang “Korelasi wartawan dengan penyakit yang diderita pada umur tertentu. Sebuah studi antara usia, beban kerja; dan penyakit.”
Memang ada paham media untuk pantang bicara diri sendiri. Tetapi mungkin menarik diamati korelasi kerja wartawan dengan jenis penyakit yang sering menghinggapi. Dan, mungkin bisa dibuktikan bahwa tekanan stres wartawan yang bekerja di koran cetak dengan online ternyata berbeda. (*)
Gunungpati, Semarang
—-*Penulis adalah Wartawan Senior—