JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD meminta para sarjana yang baru lulus dari perguruan tinggi untuk tidak sekadar menjadi sarjana, melainkan menjadi intelektual di tengah masyarakat.
Hal itu ditegaskan Mahfud saat memberikan orasi ilmiah dalam Wisuda Periode 133 Universitas Negeri Padang pada Minggu (17/12/2023) pagi.
Mahfud mengatakan, seorang yang menyandang gelar sarjana belum tentu memiliki intelektualitas. Menurut dia, ijazah seorang sarjana hanya sebagai tanda keahlian di bidang ilmu tertentu.
“Sarjana itu hanya menunjukan keahlian saja. Saya sarjana S-1 bidang ekonomi, keahlian saya begini, termasuk skillnya. Tapi sarjana itu belum tentu intelektual,” kata Mahfud.
Selain itu, Mahfud juga mengutip pernyataan tokoh bangsa seperti Mohammad Hatta yang besar dari Padang. Hatta, kata Mahfud, pernah menyampaikan tentang tanggung jawab kaum intelegensia.
“Sarjana itu belum tentu intelegensia, belum tentu intelek,” kata dia.
Menurut calon wakil presiden nomor urut 3 itu, sarjana merupakan status yang menunjukan keahlian, sedangkan intelektualitas adalah kemuliaan moral. Mahfud mengatakan sarjana yang akan hidup di masyarakat akan disebut berhasil kalau menjadikan diri sebagai intelektual.
“Di masyarakat akan berhasil manakala saudara menjadikan diri sebagai intelektual, bukan hanya sarjana,” kata Mahfud.
Selain itu, Mahfud menilai keahlian seseorang dalam status sarjana mungkin bisa digunakan untuk mengerjakan kerja yang teknis agar efektif dan efisien. Namun, kesarjanaan orang bisa digunakan untuk berbuat lain.
”Tapi kerap kali kesarjanaan itu bisa digunakan alat untuk menipu,” kata Mahfud.
Gelar sarjana untuk menipu, Mahfud memberikan contoh. Ada seorang sarjana atau ahli hukum, pengacara, hakim, jaksa, dan profesor hukum yang masuk penjara. Kondisi ini menurut Mahfud karena mereka menggunakan pasal-pasal dari keahliannya untuk menipu orang.
“Jadi pasal-pasal hukum itu bisa diperjualbelikan, berapa Anda mau. Tapi kalau Anda menjadi seorang intelektual, maka yang bertumpu di hati ini ada moral karena kebenaran itu bukan ditentukan oleh bunyi pasal-pasal, tetapi sebenarnya oleh bisikan hati nurani yang berlandaskan pada moral,” kata Mahfud.
Singgung Soal Korupsi
Dalam kesempatan yang sama, Mahfud juga menyinggung instruksi dari Presiden Jokowi mengenai korupsi di tanah air.
Mahfud yang tampak menggunakan setelan toga jabatan berwarna hitam berkelir kuning dan oranye itu mengatakan bahwa dirinya berbicara korupsi itu merupakan perintah Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
“Apa yang saya katakan ini adalah apa yang dikatakan Presiden Jokowi, bahwa di Indonesia banyak korupsi. Itu Pak Jokowi yang bilang pada 5 November 2019 beberapa hari setelah menteri dilantik,” kata Mahfud orasinya yang Tempo pantau secara daring pada Minggu (17/12/2023).
Menurut Mahfud, Presiden Jokowi pernah menyampaikan kepada jajaran menteri dan pucuk pimpinan lembaga negara untuk mewanti-wanti adanya praktik korupsi.
“Hei di Indonesia banyak korupsi, kamu jaksa, polisi, suka gigit orang yang melapor. Kalau saya tahu nanti saya gigit sendiri,” kata Mahfud menirukan instruksi Presiden Jokowi.
Selain itu, Mahfud juga menyinggung pidato Presiden Jokowi di Bali soal Kapolda dan Kapolres yang mendatangi preman dengan alasan keamanan lingkungan. Presiden Jokowi, kata Mahfud, melarang Kapolda dan Kapolres untuk melakukan itu.
“Biasanya Kapolda Kapolres demi keamanan lingkungan yang disowani dulu preman, mafia di daerah itu. Kalau sowan ke tokoh agama, akademisi, ulama, ke tokoh adat. Ini Pak Jokowi yang mengatakan,” kata Mahfud.
Menurut Mahfud, fenomena tersebut selama ini semua orang mengetahui, tetapi tidak ada yang berani mengatakan. Menurut dia, musuh bangsa Indonesia ini bukan dari luar, tetapi dari dalam negara sendiri, yaitu koruptor di mana-mana.
“Sekarang kita tindak,” kata Mahfud.