Cerita sebelumnya:
RM Said mulai terpengaruh oleh ajakan Sutawijaya untuk keluar dari Benteng Keraton Kartasura. Karena nyata-nyata Benteng Kartasura telah menjadi belenggu bagi dirinya.
“Kakang Sutawijaya benar. Sudah berapa tahun saya hidup menderita dan disia-siakan seperti ini. Tapi ke mana kita akan pergi?”
“Ke manapun Raden akan pergi dan berdiam, saya akan ikuti asal kita bisa hidup merdeka,” jawab Sutawijaya.
“Tapi… tidak adakah tempat yang lebih pasti bagi kita untuk tinggal dan membangun kekuatan, Kakang? Toh kita tidak sekadar lari dari ketidakadilan ini, kita mestinya melawan kesewenang-wenangan ini. Bukan hanya demi kita, tapi juga bagi orang lain yang senasib,” jawab RM Said.
“Raden Mas benar. Kita tidak boleh menjadi pengecut, yang hanya melarikan diri. Mmm….. Sebenarnya ada, Raden, tempat untuk tinggal menetap. Saya ingat, di daerah Nglaroh ada seorang bijak yang dapat kita mintai petunjuk. Syukur kalau beliau nanti mendukung perjuangan kita. Namanya Kyai Wiradiwangsa. Kalau Raden setuju, kita bisa tinggal di Nglaroh, Wonogiri. Di sana beliau bermukim,” jawab Sutawijaya.
RM Said pun kian mantab setelah arah dan tujuan mereka yang sudah jelas. Rencana segera mereka susun dengan cermat. Hingga pada suatu malam, ketika terdengar suitan panjang di antara nyanyian jengkerik-jengkerik malam, RM Said tahu itu kode panggilan dari Sutawijaya dari balik tembok benteng.
RM Said pun segera mengambil buntalan berisi pakaian yang sedari tadi telah disiapkan. Dicangklongnya buntalan itu di atas pundak, lalu dengan langkah hati-hati, RM Said pun menyelinap di antara lorong-lorong yang terdapat di dalam benteng demi menghindari penjaga. Dengan langkah berjingkat-jingkat ia mendekati pintu gerbang yang tinggi dan tebal itu.
Hati-hati, RM Said berhasil membuka pintu gerbang itu dan menyelinap keluar. Beberapa puluh meter dari pintu gerbang, di balik pohon besar yang rindang, Sutawijaya mengeluarkan suitan seperti suara binatang malam. Dia tahu itu adalah sahabatnya, lalu ia segera melangkah ke arah suara tersebut. Rupanya, Sutawijaya sudah mengawasi sahabatnya itu dari kejauhan. Namun baru lima meter melangkah, RM Said berhenti. Ia berbalik dan memandangi benteng Kraton Kartasura tersebut.
Perasaan RM Said tiba-tiba saja berkecamuk. Ada yang bergolak di dalam dadanya. Yah, di balik tembok besar itulah tempat ia dilahirkan dan dibesarkan hingga ia berusia 19 tahun. Dan di dalam tembok itu masih berdiam sahabat-sahabatnya, para pelayan istana yang sering bercengkerama dengannya. Ada juga Gempol, seorang perawat kuda yang sering ia goda saat memandikan hewan-hewan tunggangan itu. Seorang yang dengan setia mendongeng dan menceritakan hal-hal lucu sebelum mereka tidur di kandang kuda.
Hmm… saat ia tinggalkan tadi, Gempol tengah tidur mendengkur. Mungkin kecapekan karena harus memandikan lima ekor kuda sekaligus. Untung tadi dia ikut membantu memandikannya. RM Said suka memandikan kuda, mengelus-elus rambutnya yang lebat, licin dan mengkilap. Apalagi saat mengelus-elus kepalanya, dan mata kuda itu memandang sayu kepadanya, kejadian seperti itu saat-saat paling menyenangkan baginya. Suhamdani
Bersambung
Catatan: Ini adalah cerita fiksi hasil pengembangan dari perbincangan dengan Juru Kunci Sendang Siwani dilengkapi dengan literatur Babad Panambangan