Beranda Umum Nasional Rupiah Terjerembab ke Rp 16.500 per 1 US Dollar, Sekjen Hipmi: Khawatirkan...

Rupiah Terjerembab ke Rp 16.500 per 1 US Dollar, Sekjen Hipmi: Khawatirkan Bagi Perekonomian Nasional

ilustrasi nilai tukar rupiah terhadap dolar | tempo.co

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM  – Seolah mengulang krisis moneter pada 1998, nilai tukar rupiah belakangan makin tersuruk terhadap dolar AS.

Sebagaimana diketahui,  Pada akhir perdagangan Jumat, 21 Juni 2024, rupiah melemah 20 poin atau 0,12 persen menjadi Rp 16.450 per dolar AS dari penutupan perdagangan sebelumnya yaitu Rp 16.430 per dolar AS.

“Rupiah berada pada titik terlemahnya karena dolar AS terdorong ke level tertinggi baru dalam delapan minggu akibat dari pendekatan Federal Reserve yang sabar dalam menurunkan suku bunga kontras dengan sikap yang lebih dovish di negara lain,” kata analis Finex Brahmantya Himawan, Jumat (21/6/2024) .

Melihat hal tersebut, Sekretaris Jenderal HIPMI Anggawira mengatakan bahwa fenomena ini sangat memprihatinkan dan mengkhawatirkan bagi perekonomian nasional. Ia menyebut nilai tukar rupiah Rp16.475 ini terendah sejak April 2020.

“Ini adalah momen yang sangat mengkhawatirkan bagi perekonomian nasional, terutama bagi pelaku usaha,” kata Anggawira dalam keterangan tertulis pada Jumat (21/6/2024).

Sebagaimana diketahui, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan Jumat (14/6/2024), ditutup merosot menyentuh angka Rp 16.412. Nilai ini disebut menjadi terendah sejak krisis moneter atau Krismon 1998 ketika rupiah jatuh ke Rp 16.650, sebagaimana dikutip dari laman OJK.

Baca Juga :  AKP Dadang, Penembak AKP Ulil Terancam Hukuman Mati

Kilas Balik Rupiah Anjlok di Awal 1998

Mei 1998 dikenang oleh masyarakat Indonesia lewat berbagai peristiwa kelam yang terjadi saat itu. Salah satunya adalah krisis moneter atau krismon yang menghantam Asia Tenggara sejak awal tahun yang berdampak buruk pada perekonomian Indonesia termasuk anjloknya nilai tukar rupiah.

Krisis tersebut bermula dari Thailand pada Juli 1997 membawa dampak yang merugikan bagi Indonesia, di mana Thailand terpaksa mendevaluasi mata uangnya, Baht, yang kemudian memicu gelombang efek domino di negara-negara tetangga, termasuk Indonesia.

Saat itu, sistem keuangan Indonesia yang lemah atau rentan dan ketergantungan yang besar pada modal asing menjadikan Indonesia sebagai sasaran empuk krisis tersebut. Spekulasi terhadap nilai tukar rupiah semakin meningkat, ditambah dengan beban utang luar negeri swasta yang membebani dan sistem perbankan yang rapuh.

Puncak krisis terjadi pada Mei 1998, ketika rupiah mengalami penurunan nilai yang drastis, mencapai titik terendahnya dari Rp 2.500 menjadi Rp 16.800 per dolar AS.

Baca Juga :  Curhat ke Wamenaker Gaji di Indofarma Nunggak-nunggak, Noel: Saya Bukan Malaikat

Kejadian ini membuat investor kehilangan kepercayaannya terhadap perekonomian Indonesia, dengan dampak yang merugikan seperti lonjakan harga barang dan jasa yang memicu inflasi hingga 78 persen, kegiatan ekonomi yang lumpuh, banyaknya perusahaan yang bangkrut, dan peningkatan angka pengangguran.

Pemerintah Indonesia pada masa itu pun berupaya keras untuk mengatasi krisis ekonomi termasuk rupiah melemah drastis dengan berbagai kebijakan. Di antaranya menaikkan suku bunga, meminta bantuan dari Dana Moneter Internasional (IMF), dan melakukan restrukturisasi perbankan.  

www.tempo.co