SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM — Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah kembali menghadirkan suasana penuh makna melalui pagelaran Gurit Anggara Kasih yang telah mencapai episode ke-20.
Pagelaran yang menjadi bagian dari program pelayanan seni Taman Budaya Jawa Tengah itu dirancang untuk memberikan ruang ekspresi bagi seniman dari berbagai latar belakang seni.
Dalam rilisnya ke Joglosemarnews, sastrawan Sus S Hardjono menjelaskan, pada edisi kali ini, Komunitas Omah Tulis Sukoharjo didapuk sebagai pengisi utama. Komunitas yang telah aktif selama 14 tahun tersebut menjadi wadah bagi siapa saja, mulai dari pelajar hingga profesional, untuk mengembangkan kreativitas menulis.
“Kami ingin mendorong lahirnya penulis berbakat dari berbagai profesi, tanpa memandang usia atau latar belakang,” ujar Bambang Hermanto, salah satu penggiat komunitas tersebut, seperti dikutip dalam rilis.
Acara dibuka oleh Kepala Taman Budaya Jawa Tengah, Drs. Suratno, M.Pd., M.M., yang dalam sambutannya menggarisbawahi komitmen Taman Budaya untuk terus menyelenggarakan berbagai kegiatan seni.
“Taman Budaya Jawa Tengah menggelar berbagai pagelaran, mulai dari seni wayang, musik, teater, hingga puisi. Semua ini demi melestarikan dan memperkaya kebudayaan kita,” jelas Suratno.
Ia juga mengapresiasi kesuksesan Pasaraya Seni yang diadakan pada Agustus lalu dan dikunjungi lebih dari 5.000 orang.
Sayangnya, gurit belum mendapatkan tempat dalam agenda Pasaraya Seni sebelumnya.
“Kami berharap ke depannya pembacaan gurit bisa menjadi bagian dari acara besar seperti Pasaraya Seni,” tambahnya.
Malam Penuh Refleksi
Gurit Anggara Kasih kali ini menampilkan beragam puisi dalam bahasa nasional dan daerah. Penampilan pertama disajikan oleh siswa-siswa SD dan SMP yang telah dilatih untuk menulis gurit sejak dini.
Kaliya, siswa kelas 4 SD, membuka dengan gurit bertema pahlawan, diikuti oleh Andre yang menyampaikan Impen Kamardhikan.
“Anak-anak ini sejak dini diajarkan untuk berani dan tegas dalam mengekspresikan pikiran mereka,” ungkap seorang guru pendamping.
Tidak hanya dari kalangan pelajar, dosen Universitas Veteran Bangun Nusantara, Sawitri, turut membacakan puisi bertajuk Kahanan Iki yang menggambarkan pesan moral melalui simbol-simbol pedih.
Ia menyampaikan bahwa karya-karya sastra seperti itu tidak hanya menghibur, tetapi juga menggugah kesadaran sosial.
Gurit bertema wayang dari Putri Pramitra dan Peshti yang dibawakan oleh Sari turut memeriahkan malam tersebut. Sementara itu, gurit sosial berjudul Gendéra karya Rini Puspohardhini, yang dibacakan oleh Sutarto, menggugah penonton dengan tema sosial yang kuat.
“Pesan-pesan sosial seperti yang disampaikan dalam Bagawan Mudhun Gunung dan Gendéra Matine Ewuh Pekewuh adalah refleksi dari situasi sosial yang kita hadapi saat ini,” jelas Bambang Hermanto.
Sebagai penutup, Bambang Hermanto sendiri tampil membacakan gurit bertajuk Dasa Muka Gombal, yang memberikan nuansa reflektif dan penuh makna bagi seluruh penonton.
Pagelaran ini tidak hanya menjadi ajang ekspresi seni, tetapi juga ruang apresiasi terhadap kekayaan sastra daerah yang terus hidup di tengah masyarakat. Suhamdani