JAKARTA-Nilai tukar rupiah terus melemah pada awal Maret ini. Bahkan menurut ekonom senior Bank Mandiri Andry Asmoro, performa nilai tukar rupiah awal bulan ini adalah terburuk dalam beberapa tahun terakhir. “Dalam beberapa tahun terakhir, ini memang terendah,” kata Andry kepada Tempo.
Pada hari Kamis (1/3/2018), nilai tukar rupiah dibuka dengan Rp 13.800 per dolar AS dan ditutup menguat tipis 0,02 persen atau 3 poin di Rp 13.748 per dolar AS pada sore hari. Tapi pada Jumat (2/3/2108) nilai tukar rupiah terhadap dolar sudah naik menjadi Rp 14.000.
Menurut Andry, langkah Bank Indonesia untuk terus berada di pasar dan melakukan intervensi sudah tepat. Sebab, melemahnya rupiah kali ini bukan disebabkan oleh faktor ekonomi domestik melainkan faktor ekonomi global. “Faktor utama datang dari US terkait dengan pidato The Fed yang menunjukkan ekspektasi kenaikan suku bunga atau Fed Fund Rate (FFR) 3-4 kali tahun ini,” kata dia.
Sebelumnya, Bank Indonesia menyatakan siap melakukan stabilisasi dan intervensi mengantisipasi rupiah semakin melemah hingga menembus Rp 13.800 per dolar AS pada Kamis pagi, 1 Maret 2018. “Saat rupiah menyentuh Rp 13.800 per dolar AS kami siap langsung stabilisasi,” kata Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Doddy Zulverdi, Kamis (1/3/2018).
Menurut Doddy, angka tersebut sudah berlebihan dan tidak sesuai fundamental perekonomian yang cenderung membaik. “Kami kira nilai tukar Rp 13.800 per dolar AS di level itu berlebihan. Kalau melihat fundamental domestik sekarang seharusnya rupiah bisa lebih kuat,” ucapnya.
Terkait perubahan cadangan devisa, lanjut Doddy, dia berharap pelaku pasar tidak menginterpretasikan perubahan cadangan devisa merupakan sumber yang BI gunakan untuk melakukan intervensi pasar. “Jadi misalnya cadangan devisa naik sampai US$ 10 miliar, kita juga belum tentu akan menggunakan itu untuk intervensi pasar,” kata dia.
Doddy menyatakan, perubahan devisa sangat beragam, dam tak hanya untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Cadangan devisa dipakai di antaranya untuk pembayaran utang, pembelian migas, dan lain-lain. “Termasuk pemerintah yang baru menerbitkan green sukuk, global bond, itu juga menyebabkan perubahan cadangan devisa,” tuturnya.(tempo.co)