SOLO-Siskamling digital, yakni aktivitas memantau dan mengklarifikasi informasi menjadi salah satu solusi mengatasi berita bohong atau hoaks.
Demikian dikemukakan Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho dalam Seminar Komunikasi Kontemporer bertema “Hoax dan Diseminasi Informasi di Tahun Politik” di Aula FISIP UNS, Sabtu (24/3/2018).
Selain Septiaji, Deputi IV Kantor Staf Presiden, Eko Sulistyo dan Kaprodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS, Sri Hastjarjo, hadir sebagai narasumber dalam seminar tersebut. Seminar dipandu wartawan senior Solo, Anas Syahirul.
“Hoaks telah menjadi fenomena global. Hoaks menghampiri lini masa pemilik akun sosmed setiap hari. Relawan Mafindo pun tergerak mengembangkan aplikasi bernama Hoax Buster Tools yang bisa diunduh di Playstore. Aplikasi ini berguna untuk mendeteksi informasi bohong dan melaporkan hoaks,” kata Septiaji.
Sehubungan dengan datangnya masa Pilkada dan menjelang Pilpres, siskamling digital yang dimotori Mafindo, Bawaslu dan elemen lain juga akan membantu memantau lini masa media sosial untuk mengantisipasi pelanggaran kampanye yang dimungkinkan dilakukan melalui dunia maya.
Eko Sulistyo menyatakan, Indonesia telah memasuki ranah post-truth (pasca kebenaran). Post-truth adalah fenomena di mana orang memilih meyakini fakta yang tidak benar, karena sesuai dengan sisi emosional dan keyakinan pribadi. Dia mencontohkan, di dunia musik Via Valen yang semula tak terdengar dan tak dikenal kini lebih dipilih dan tayangan musiknya di Youtube ditonton jutaan orang, melebihi Ayu Tingting dan Raisa yang lebih dulu bergelut di industri musik nasional.
Sementara Sri Hastjarjo mengungkapkan, dari segi teoritis, hoaks tercipta karena framing realitas pribadi ditambah asupan informasi terjadi dalam jangka waktu lama dan homogen. “Maka terciptalah keyakinan pada satu informasi, atau kadang informasi tersebut dipelintir.”
Sementara realitas utuh memang tidak akan disajikan di media massa. Terjadilah distorsi informasi, dimana beragam informasi seolah menyajikan fakta. Oleh sebab itu, media massa harus berpihak. “Media massa tidak mungkin netral dan jangan netral. Media massa harus berpihak, memihaknya pada kebenaran,” tandas Hastjarjo.
Sedangkan di akhir sesi diskusi, Anas Syahirul yang memandu seminar berharap pemberantasan terhadap hoaks lebih terstruktur, terkonsep dan lebih tegas. Sehingga ke depan, pemberantasan hoaks akan lebih efektif. Karena yang terjadi selama ini, pola pemberantasan hoask masih tersekat-sekat antar elemen gerakan anti hoaks. Belum ada kebersamaan, dan masih egosentris.
“Harusnya ada silaturahmi di antara para penggerak anti hoaks ini. Perbedaan preferensi politik dan ideologi harusnya tidak menghalangi mereka untuk berjalan bersama demi bangsa yang lebih besar,” harapnya.
Di akhir acara, narasumber dan audiens sepakat bahwa hoaks harus dilawan dan dicegah sekarang juga. Dan adalah tanggung jawab kita untuk menghentikan persebarannya. Aplikasi dapat diunduh disini. Seminar ini merupakan hasil kerja sama Prodi Ilmu Komunikasi UNS, Masyarakat Anti Hoaks Soloraya dan Himpunan Mahasiswa Komunikasi (Himakom) UNS.(Marwantoro)