SRAGEN- Mencuatnya kasus sumbangan berbahasa sukarela namun dipatok Rp 300.000, termasuk siswa miskin, di SMPN 1 Tanon untuk pengadaan komputer UNBK 2018, memantik reaksi keras dari DPRD. Komisi IV yang membidangi persoalan pendidikan bersiap melakukan inspeksi terkait kasus tersebut.
“Segera nanti akan kami koordinasikan di internal komisi. Kita siap untuk melakukan sidak. Apapun alasannya menarik sumbangan sukarela dengan dipatok angka itu sudah menyalahi aturan. Apalagi, siswa miskin yang sudah jelas harus digratiskan, juga disuruh membayar. Ini nggak bisa dibiarkan, ” ujar Anggota Komisi IV DPRD asal Fraksi Golkar, Pujono Elly Bayu Effendi, Selasa (3/4/2018).
Senada, Sekretaris Fraksi PDIP yang juga anggota Komisi IV, Sutrisno juga sepakat dengan rencana sidak itu. Dirinya siap bersama komisi untuk melakukan sidak menyikapi hal tersebut.
Sementara, Kepala Dinas Pendidikan Kebudayaan Sragen, Suwardi mengaku akan segera mengecek informasi tersebut ke sekolah.
“Nanti kami cek dulu Mas, ” katanya.
Siap Kembalikan Uang
Di sisi lain, mencuatnya pemberitaan itu membuat Komite Sekolah setempat langsung melakukan klarifikasi. Ketua Komite SMPN 1 Tanon, Mahmudi Tohpati memang ada penarikan sumbangan sukarela untuk semua siswa kelas VII-IX untuk pengadaan komputer UNBK.
Namun ia membantah mematok angka Rp 300.000. Menurutnya angka itu muncul dari usulan beberapa pihak dan bukan atas kesepakatan komite sekolah.
“Memang ada permintaan sumbangan sukarela ke siswa kelas VII sampai IX. Tapi kami nggak matok harus Rp 300.000. Kemarin dari para-para (tokoh) itu memang sempat mengeluarkan angka Rp 300.000 sehingga akhirnya dianggap itu angka yang disepakati. Tapi yang jelas tidak mematok nominal, ” katanya.
Meski demikian, mantan anggota DPRD Sragen tiga periode itu mengaku komite siap mengembalikan uang untuk siswa yang tidak mampu. Syaratnya bisa menunjukkan kartu penanda seperti KIP, Jamkesmas, PKH, Saraswati atau surat keterangan tidak mampu dari desa.
“Silakan yang tidak mampu bisa menunjukkan surat keterangan atau kartu nanti uang akan kami kembalikan lagi. Kalau nanti mereka mau menyumbang berapa pun akan kami terima. Karena ini sifatnya bukan paksaan, ” terangnya.
Dari keterangan salah satu orangtua siswa kelas VII yang masuk kategori tidak mampu, berinisial NI, mengungkapkan sumbangan berbahasa sukarela itu memang diberlakukan kepada semua siswa. Bahkan, siswa dari keluarga tidak mampu termasuk anaknya yang memiliki kartu Indonesia pintar (KIP), Jamkesmas dan Saraswati pun juga tak luput dari kewajiban membayar Rp 300.000 itu.
“Memang disuruh ngisi angkanya sendiri tapi disuruh nulis Rp 300.000 semua. Dari sekolah menyampaikan kalau itu sudah kesepakatan rapat komite dan wali murid. Termasuk anak saya yang punya KIP, Jamkesmas dan Saraswati juga harus bayar. Kemarin ya terpaksa saya carikan utangan untuk mbayar,” ujar NI, saat berbincang dengan wartawan Senin (2/4/2018).
Karena takut, sumbangan sukarela itu ia bayar pada 26 Maret 2018 lalu yang merupakan hari terakhir batas pembayaran. Menurutnya, meski disampaikan sudah merupakan hasil rapat komite, namun sebenarnya banyak wali murid yang keberatan akan tetapi takut untuk melontarkan.
“Keberatannya bahasanya sumbangan sukarela disuruh ngisi sendiri, tapi angkanya sudah diputuskan semua harus Rp 300.000 itu. Lalu yang siswa miskin semua juga disuruh mbayar. Bagi yang kaya, uang segitu mungkin nggak masalah, tapi kalau yang hanya buruh seperti kami, ya bingung juga,” timpal IR, wali murid lainnya. Wardoyo