SRAGEN- Puluhan pekerja seni atau seniman Sragen lintas komunitas yang tergabung dalam Dewan Kesenian Daerah Sragen (DKDS) menggeruduk Polres, Senin (17/9/2018). Mereka mengecam aksi kekerasan dan perilaku sejumlah penjoget yang mulai mengancam kenyamanan serta keselamatan para pekerja seni di wilayah Sragen.
Aksi damai itu digelar untuk menyuarakan adanya pembersihan miras di arena hajatan yang dituding menjadi pemicu penjoget bertindak di luar kontrol. Selain itu, mereka mendesak Kapolres memperketat izin dan pembatasan durasi pentas hiburan serta menindak tegas oknum yang melakukan kekerasan terhadap pekerja seni.
Aksi itu dipimpin Ketua DKDS, Singgih Windarto. Puluhan seniman itu terdiri dari berbagai komunitas seni mulai dari seniman campursari, wayang kulit, karawitan, organ tunggal, yang bernaung di bawah organisasi masing-masing.
Di Polres, mereka ditemui langsung oleh Kapolres AKBP Arif Budiman untuk beraudiensi. Di hadapan Kapolres, para seniman menyodorkan 7 poin tuntutan yang intinya agar dilakukan penerapan sanksi Perda Miras, pengetatan izin hiburan hingga pembuatan MMT yang ditandatangani Kapolres untuk dipasang di arena hajatan.
Ketua DKDS, Singgih mengungkapkan aksi itu digelar sebagai puncak keprihatinan semua seniman Sragen atas rentetan insiden kekerasan dan ancaman yang dialami pekerja seni saat mentas. Terakhir, insiden pemukulan terhadap seorang master ceremony (MC) Campursari, Jumbadi, oleh penjoget mabuk saat mentas di wilayah Jatisumo, Sambungmacan baru-baru ini.
“Dan itu bukan yang pertama kali. Selama ini sudah beberapa kali ada perlakuan tidak mengenakkan terhadap seniman mulai dari ancaman sampai pemukulan. Makanya tadi kami sampaikan 7 poin kesepakatan dan Alhamdulilah respon Pak Kapolres sangat bagus. Pak Kapolres siap menandatangani spanduk MMT yang akan dipasang di setiap arena hajatan,” paparnya seusai audiensi.
Singgih menguraikan salah satu biang pemicu aksi kekerasan terhadap seniman adalah masih adanya miras di arena hajatan. Ia mendesak kepolisian tegas menerapkan Perda Miras sehingga arena hajatan steril dari Miras.
Kemudian lemahnya aturan durasi pentas dan adanya oknum polisi yang mendukung pemoloran jam, terkadang membuat seniman dipaksa untuk terus berlanjut meski jam pentas sudah selesai.
“Kalau tidak mau nuruti nambah jam, nanti penjogetnya yang ngamuk. Lalu kadang waktunya sudah habis, malah oknum polisinya nyekel mic dan bilang wis teruske wae mas, aku sing njamin aman aman. Akhirnya jadi patokan molor dan kalau nggak dituruti, seniman juga yang jadi sasaran,” terangnya.
Ia berharap durasi pentas yang selama ini dipatok yakni pukul 20.00-24.00 WIB untuk malam hari dan 09.00-15.00 WIB siang hari, bisa benar-benar dipatuhi.
Utamanya pada jam pentas malam hari yang kadang riskan terjadi pemaksaan untuk molor dari jadwal.
“Kalau malam itu sangat riskan bagi seniman. Tuntutan kami hanya ditegakkan aturan biar ada kenyamanan dan keselamatan dalam bekerja. Itu saja,” tegasnya.
Terpisah, Kapolres Sragen, AKBP Arif Budiman menegaskan siap membuatkan spanduk atau MMT sebagai komitmen tegas menjaga Kamtibmas yang akan dipasang di setiap pentas hiburan. Termasuk di dalamnya akan mengatur larangan miras hingga durasi operasional hiburan.
“Soal redaksionalnya ini baru disusun,” paparnya.
Terkait ancaman dan tindakan kekerasan yang dialami pekerja seni, pihaknya meminta agar berani melapor secara prosedur ke Polsek atau Polres. Polres siap menindak tegas dan memproses pelaku, sehingga bisa menjadi efek jera dan tak terulang kembali.
“Kalau hanya disimpan sendiri, didiamkan maka nanti gak ada efek jeranya. Kalau ada ancaman atau kekerasan silahkan laporkan, nanti akan langsung kami tindaklanjuti dan proses hukum. Kita tidak akan toleransi hal-hal seperti itu,” tandasnya.
Sebagai bentuk atensi, Kapolres juga mengaku langsung menginstruksikan semua Kapolsek di 20 kecamatan untuk tidak ragu mengawal penegakan aturan di lapangan terkait persoalan tersebut. Wardoyo