
JAKARTA – Kendati Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan bakal segera melakukan revisi terhadap PKPU dengan merujuk pada putusan MA, namun pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari ini berpendapat lain.
Feri Amsari mengatakan, putusan Mahkamah Agung tentang Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 soal larangan eks napi korupsi untuk menjadi caleg, bertentangan dengan hukum.
“Putusan MA itu bertentangan dengan Pasal 55 Undang-undang MK,” kata Feri Minggu (16/9/2018).
MA mengabulkan gugatan terhadap PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang eks napi korupsi mencalonkan diri sebagai caleg. MA menilai PKPU yang melarang mantan narapidana narkoba, pelaku kejahatan seksual terhadap anak, dan mantan koruptor menjadi caleg tersebut bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, yaitu Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Menurut Feri, MA seharusnya menunda putusan judicial review terhadap PKPU sesuai dengan UU MK. Sebab, kata dia, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu saat ini tengah dalam masa uji materi di MK. “Kalau ada pengujian peraturan di bawah UU yang berkaitan dengan UU yang sedang di uji di MK, maka itu ditunda dulu sidangnya di MA,” kata dia.
UU yang dimaksud Feri adalah UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang MK. Pasal 55 UU ini berbunyi “Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.”
Feri mengatakan putusan MA yang bertentangan dengan UU MK itu menjadi tak absah karena cacat administratif. Selain itu, kata dia, dalam hukum tata negara putusan MA itu harus dianggap batal demi hukum. “Maksudnya batal demi hukum, putusan itu dianggap tidak pernah ada,” ujarnya.
Di sisi lain, Feri menilai, putusan MA membatalkan PKPU ini juga tak berlaku seketika. Menurut dia, masih ada waktu 90 hari bagi KPU untuk mengabaikan putusan MA. “Itu artinya secara substansi PKPU masih bisa dijalankan lebih kurang 3 bulan,” ujarnya.
Sementara itu, Komisi Pemiluhan Umum selaku pembuat PKPU tersebut belum mengambil sikap terkait putusan MA tersebut. Alasannya, KPU belum menerima salinan putusan tersebut.
Komisioner KPU Viryan mengatakan pihaknya akan menggelar rapat pleno utuk membahas putusan MA tersebut. Sambil, kata dia, KPU terus mencari alternatif lain agar masyarakat mengetahui keberadaan caleg eks napi korupsi tersebut saat pemilihan legislatif. Salah satu alternatifnya yaitu menandai caleg eks napi korupsi di kertas suara. “Itu alternatif-alternatif yang sedang ditimbang. Setidaknya, jika nanti tidak bisa di kertas suara, dibuat di TPS,” kata dia.
Usulan tersebut didukung oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Peneliti Perludem Fadli Ramadhanil mengatakan usulan tersebut perlu direalisasikan jika partai tetap ngotot mendaftarkan mantan napi koruptor sebagai caleg.
Menurut Fadli, wacana yang juga pernah disuarakan oleh Presiden Joko Widodo itu masih bisa dilakukan KPU agar semangat antikorupsi dalam Pemilu tetap berjalan. “Masih ada waktu bagi KPU untuk mendesain surat suara dengan menandai caleg yang napi koruptor,” ujarnya.
Sementara itu, sejumlah partai yang mendaftarkan caleg eks napi korupsi ada yang tetap berpatokan pada PKPU. Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Panjaitan mengatakan partainya tetap konsisten tak akan mencalonkan caleg berstatus mantan napi korupsi meski Mahkamah Agung telah memperbolehkannya. “Kalau dari Demokrat, posisi kami tetap di awal, ke depan semuanya bersih,” ujarnya.
Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno lebih memilih menyerahkan pilihan kepada rakyat, apapun kebijakan yang akhirnya diambil. Ia berpendapat masyarakat sudah cerdas menilai apakah citra sebagai bekas napi korupsi ikut menentukan terpilih tidaknya caleg yang bersangkutan. “Kita harus menghargai orang yang sudah menjalani hukuman kan sudah membayar sanksi hukum atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Di pileg, biarlah rakyat yang menilai,” ujarnya.