
SOLO – Kearsipan dan Perpustakaan (Arpusda) Kota Surakarta menjadi salah satu perpustakaan terbaik di Provinsi Jawa Tengah. Namun demikian, penelitian mengenai minat baca menunjukkan, Kabupaten Karanganyar memiliki tingkat minat baca terbaik se-Jawa Tengah, dan baru diikuti Kota Solo dan kota-kota yang lain.
Demikian diungkapkan oleh Dr Indra Kertati selaku Ketua Tim Kajian Minat Baca Provinsi Jateng saat menjadi narasumber dalam Sarasehan Perpustakaan 2018 di ruang diskusi Arpusda Kota Surakarta, Jumat (14/12/2018) malam.
“Ini memang unik, tapi fakta dari hasil penelitian memang demikian,” ujarnya.
Menurut Indra, justru fakta tersebut harus menjadi pendorong bagi Arpusda Kota Solo maupun pihak Pemkot untuk memaksimalkan gerakan minat baca masyarakat, agar keberadaan Arpusda makin dinamis serta menjadi bagian hidup masyarakat.
Indra menegaskan, membaca memiliki nilai positif yang tidak dapat dihitung pada saat bersamaan. Namun, hasil hasil positif dari aktivitas membaca merupakan akumulasi dari sebuah proses yang panjang. Karena itu, masyarakat khususnya anak-anak, butuh pendampingan dan contoh yang terus menerus dari orang tua.
Terkait dengan upaya tersebut, jelas Indra, keberadaan perpustakaan menjadi salah satu alat yang dapat digunakan untuk membangun budaya literasi tesebut. Indra tidak menampik adanya perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat telah merebut fokus dan perhatian anak-anak.
“Membaca Android atau lewat gawai sebenarnya bisa juga membangun literasi. Namun yang perlu ditegaskan, kita jangan sampai didikte oleh mesin. Manusia mestinya yang mengendalikan teknologi,” paparnya.
Dalam skup yang lebih luas, sayangnya, Indonesia masih memiliki minat baca yang sangat rendah. Hasil penelitian antar negara menunjukkan bahwa minat baca di Indonesia hanya 0,001 persen. Artniya, jelas Indra, dari 1.000 orang hanya ada satu orang yang memiliki minat baca.
“Hasil survei yang lain juga memprihatinkan, dalam satu tahun anak-anak Indonesia hanya membaca 27 halaman buku. Berapa halaman dalam sebulan?” tantangnya.
Indra menuturkan, anak-anak di Indonesia memang cenderung memiliki budaya melihat ketimbang budaya membaca. Jika dirunut ke belakang, dari awalnya anak-anak Indonesia memang terbiasa dengan budaya mendengar (dongeng), kemudian meloncat ke budaya melihat tanpa melalui budaya membaca.
“Sementara, sistem pendidikan di Indonesia tidak memberikan peluang bagi tumbuh kembangnya budaya baca tulis. Guru kurang memberikan contoh membaca untuk anak didiknya, sementara perpustakaan sekolah belum difungsikan sebagi sumber belajar,” ujarnya.
Namun di tengah fakta yang memprihatinkan tersebut, Indra Kertati memberikan apresiasi kepada perpustakaan-perpustakaan di Kota Solo. Hasil penelitian menunjukkan, dari 18 perpustakaan kampung di Kota Solo, rata-rata telah memenuhi standar perpustakaan nasional.
“Total ada 72 indikator, dan perpustakaan kampung di Kota Solo sudah memenuhi 54 indikator. Ini sudah bagus,” ujarnya. #suhamdani