SRAGEN- Aksi demo puluhan warga empat dukuh di Desa Bukuran, Kalijambe yang memportes biaya sertifikat PTSL Rabu (30/1/2019) petang berakhir tanpa kesepakatan. Warga merasa kecewa atas penjelasan Kades dan minta agar kasus itu diusut tuntas.
“Pokoknya kami minta pemerintah pusat dan kabupaten segera turun ke lapangan. Memproses, karena ini sudah enggak benar,” kata Sugimin, tokoh asal Dukuh Kedungringin, Bukuran usai demo.
Ia mengatakan warga terlanjur kecewa atas proses sertifikasi PTSL yang dianggap tidak transparan. Mulai dari besaran biaya yang tak dirapatkan dengan warga, pembayaran berbeda-beda dan tidak ada kuitansi hingga adanya sejumlah warga yang diam-diam dapat subsidi Rp 50.000 dari Kades.
Menurutnya, yang dikeluhkan warga selain problem itu, juga besaran tarif yang dipandang terlalu mahal dan memberatkan. Sebab ada desa tetangga yang dimusyawarahkan dulu dengan warga dan hanya ditarif tak lebih dari Rp 500.000.
“Lha di sini, ujug-ujug dipatok Rp 800.000. Yang luar Bukuran Rp 1 juta. Tapi ada yang nggak bayar juga dikasihkan. Yang orang dekat-dekat hanya disuruh bayar Rp 750.000. Ini kan sudah nggak adil dan mengecewakan,” tuturnya.
Ia dan warga tetap menolak meski Kades sempat menawarkan bagaimana jika yang bayar Rp 800.000 dikembalikan Rp 50.000 agar tidak jadi kecemburuan. Menurutnya, pengembalian pun tak akan bisa menutup kekecewaan lantaran dari awal prosesnya dinilai sudah jauh dari transparan.
Sementara, Kades Bukuran, Kalijambe, Dimanto menegaskan proyek sertifikat PTSL di desanya sudah dijalankan sesuai prosedur.
Ia mengklaim sudah ada musyawarah penentuan biaya PTSL yang dipimpin Sekdes dengan mengundang Pokmas. Namun ia mengaku kesalahan ada di perangkat desanya yakni bayan yang kemungkinan tak menyosialisasikan ke warga.
Kemudian ia juga menyebut soal biaya, nominal Rp 800.000 diusulkan oleh Sekdes saat rapat dengan Pokmas. Namun ia mengaku jika itu peruntukkannya jelas. Ia juga mengakui memang ada beberapa warga yang menitip kepadanya Rp 750.000 dan ia tambahi Rp 50.000 dari kantong pribadinya.
Tetapi biaya yang dibayarkan ke bendahara yang mengurusi PTSL, Supono, tetap Rp 800.000. Perbedaan biaya inilah yang kemudian memicu kecemburuan warga karena ada pula yang ditarik Rp 1 juta.
“Itu saya akui kesalahan perangkat saya membagi undangan. Salahnya yang belum bayar ikut diundangi dan diberi sertifikat. Akhirnya mengundang keirian yang lain. Memang yang ndablek bayan kita, kenapa belum bayar sudah dikasih sertifikat. Makanya nanti yang belum tadi akan ditagihi Pak Carik (Sekdes),” kata Dimanto. Wardoyo