BANTUL– Satu keinginan dan harapan mbah Jumari (65) yang hidup di gubug kayu di Padukuhan Srunggokali, Desa Selopamioro, Bantul adalah agar ia bisa terus menyekolahkan anaknya, Yunawan, ke jenjang sekolah yang lebih tinggi.
“Saya sudah tidak punya harapan apa-apa. Kecuali satu, saya hanya ingin anak saya terus sekolah. Kalau bisa sampai SMA, sampai kuliah. Semampu saya, akan berusaha menyekolahkan,” tutur Jumari, ketika tribunjogja.com bertanya harapan.
Yunawan merupakan anak bungsu Jumari yang kini duduk di bangku kelas lima sekolah dasar.
Setiap hari, sejak enam bulan terakhir mereka (Jumari dan Yunawan) tinggal di sebuah gubug kayu sangat sederhana.
Kondisi gubuk
Gubug itu beratapkan seng bekas. Tak ada dinding dan tak ada pintu. Bangunan lebih mirip seperti kandang ternak.
Untuk mencegah terpaan angin masuk, samping kanan dan kiri hanya dibalut dengan kain bekas ala kadarnya.
Melihat kediaman Jumari memang memprihatinkan. Sangat jauh dari kata layak. Hanya berukuran sekira 5 x 2 meter persegi.
Jangan tanyakan perabotan. Karena barang berharga satu-satunya di dalam gubug itu hanya kasur yang telah lusuh. Sebagai tempat istirahat saat malam menjelang.
Kasur itu diletakkan dipojok bangunan gubug tanpa dibalut sprei.
MCK di sungai
Tidak ada hiburan dan tak ada barang berharga. Bahkan kamar untuk mandi tidak ada. Kebutuhan MCK, Jumari dan anaknya biasa mengandalkan sungai kecil di depan gubug tempat mereka tinggal.
Ketika hujan turun, kata Jumari gubug miliknya bocor dimana mana. Ia dan anaknya sebisa mungkin mencari ruang di dalam gubug supaya tidak kena tetesan air hujan.
“Kalau ditanya dingin. Pastinya dingin. Tapi mau gimana lagi. Saya tidak punya tempat tinggal lain,” ujar dia pasrah.
Beruntung, gubug kayu yang ditempati oleh Jumari terdapat penerangan. Berupa dua buah lampu dari tetangga sehingga Yunawan masih bisa belajar. Meski dengan segala keterbatasan.
“Untuk belajar kadang di rumah. Kadang juga belajar kelompok sama teman. Dirumah tetangga,” ujar dia.
Setelah pisah dengan sang istri tiga tahun silam. Yunawan menjadi satu-satunya harapan dan pelipur asa bagi Jumari.
Anak sakit
Namun, nahas memang tak bisa ditolak. Tangan sebelah kiri Yunawan saat ini sedang sakit setelah jatuh tertimpa motor satu bulan silam.
“Awalnya motor sedang berhenti, terus buat mainan. nggelimpang [roboh] tangan anak saya tertindih stang. Patah,” ujar dia.
Kala itu Jumari mengaku iba. Anaknya terus melonglong kesakitan setiap malam.
Segala keterbatasan, Yunawan saat ini sudah mendapatkan pengobatan di rumah sakit Nur Hidayah dan dipasang Platina.
“Saat ini tinggal kontrol dan tangan anak saya sudah mulai bisa digerakkan,” ucapnya bersyukur.
Bikin arang
Jumari tidak memiliki penghasilan tetap. Setiap hari kegiatan dia hanya membereskan pekarangan dan membuat arang dari bonggol kayu.
Arang itu sesekali ia jual di warung. Hasil yang didapat tidak seberapa. Karena kata Jumari tidak setiap hari arang buatannya bisa laku terjual.
“Satu karungnya dapat uang Rp 80 ribu. Tapi lama karena tidak bisa laku cepat,” keluh dia.
Tak ayal setiap hari ia mengaku tak pernah ada pemasukan.
Kebutuhan makan, untuk dia dan anaknya, hanya mengandalkan uluran bantuan dari tetangga yang berbaik hati. Kadang juga ada bantuan yang kata Jumari datang dari Kecamatan.
“Ada namanya mbak Nurul. Dia kerja di Kecamatan. Kadang datang sama temannya membawa sembako kesini,” ujar dia.
Bantuan tak selalu datang setiap waktu. Kondisi ekonomi keluarga yang tak ada pemasukan membuat Jumari pasrah.
Usia sudah tak lagi muda namun kebutuhan untuk anak sekolah kian banyak. Jika dalam kondisi kepepet, Jumari mengaku Bon [ngutang] ke teman ataupun warung di kampung.
“Jika dihitung. Hutang saya semuanya sudah sampai dua juta. Mau gimana lagi, saya mau bayar tapi belum sanggup bayar,” ungkap dia pasrah.