Beranda Panggung Sastra Bedah 2 Novel, Tiga Langkah Mati, Novel Remaja Bergaya Sastra

Bedah 2 Novel, Tiga Langkah Mati, Novel Remaja Bergaya Sastra

Yuditeha (pegang mic) tengah memaparkan proses kreatifnya/foto: joglosemarnews-suhamdani

SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM – Dua novel yang sama-sama mengambil segmen remaja  dibedah di Balai Soedjatmoko, Jumat (7/3/2019) malam.

Dua novel tersebut adalah Tiga Langkah Mati karya sastrawan Yuditeha dan Tidak Ada Kartu Merah karya Ruly R. Kedua buku tersebut diterbitkan oleh penerbit buku Kompas.

Bertindak selaku pembahas novel Tiga Langkah Mati, Yessita Dewi, sementara Maia Harsanto  membedah novel Tidak Ada Kartu Merah. Bedah buku dalam kemasan santai  itu dimodetatori Panji Sukma.

Kedua novel itu unik, karena  dua penulis  bergelut dalam komunitas yang sama,  Kamar Kata di Karanganyar. Bahkan, pengakuan Yuditeha, dua draf tersebut disodorkan ke penerbit bersamaan.

Tak heran, karena dua orang tersebut ibarat guru dan murid. Dalam paparannya, Ruly mengakui naskah novel pertamanya tersebut dihasilkan dengan perjuangan yang panjang.

“Di awal, naskah ini bahkan dibantai kawan-kawan di Kamar Kata. Tapi karena itulah naskah ini menjadi jauh lebih baik. Apalagi saya juga minta waktu ekstra bung Yudi untuk membimbing,” ujarnya.

Berkisah tentang proses kreatifnya, Yuditeha mengatakan bahwa dari sisi konten, sebenarnya novel Tiga Langkah Mati tidak ada yang istimewa. Bahkan, ujar Yuditeha, siappaun bisa membuat naskah yang serupa.

“Mungkin yang membedakan adalah  konsepnya. Ke penerbit saya menyodorkan konsep bahasa sastra yang ringan, namun tidak ikut arus bahasa milenial anak remaja masa kini. Kira-kira bahasa ini menjadi jembatan antara keduanya. Dengan sadar memang saya agak memaksakan,  tidak mengikuti arus,”  ujar Yuditeha.

Apa yang dibeberkan  Yuditeha itu senada dengan pandangan pembahas, Yessita Dewi. Ia mengatakan, sebelum membahas novel tersebut, ia memberikannya kepada anak-anak usia remaja.

“Setelah itu saya tanya, ternyata dia paham dengan isi dan makna dari novel ini. Ini artinya, konsep yang diusung oleh penulis berhasil mencapai sasaran. Ini adalah  novel remaja yang nyastra,” ujarnya.

Yessita sempat menduga, setting remaja yang diambil jangan-jangan setting remaja penulis sendiri. Pasalnya, dari awal sampai akhir tidak ditemui kosa kata atau istilah-istilah remaja masa kini. Tidak ada pula handphone dan perangkat-perangkat masa kini dalam novel remaja itu.

“Istilahnya tidak ada akronim dan bahasa mutakhir remaja masa kini. Bahkan sekadar SMS pun tidak ada di novel ini,”  ujarnya.

Dengan konsep tersebut, diakui Yessita, meskipun mudah memahami jalan ceritanya, namun agak sulit bagi anak-anak SMA jaman sekarang untuk membayangkan gaya remaja masa lalu.

Sementara Ruly menjelaskan, novel Tidak Ada Kartu Merah karyanya berangkat dari hal yang ringan.  “Saya mulai dari apa yang saya pahami dulu,” ujar penggemar sepak bola dan fans Arsenal tersebut.

Sepak bola antar kampung (Tarkam) menjadi setting pilihannya dalam novel ini, karena menurutnya memiliki keunikan dibanding  sepakbola mainstream.

“Sama-sama berebut bola. Sama-sama tekel dan  serekal kaki, benturan antar kaki, tapi sepakbola Tarkam menghadirkan  sisi-sisi sosial yang menarik. Bukan sekadar sepak bola. Tali sangat kompleks. Ada totohan yang begitu vulgar, supporter fanatik. Bahkan pernah terjadi permusuhan antar  desa gara-gara sepak bola, ” ujarnya. suhamdani