JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Ketatnya persaingan dalam Piplres 2019, ternyata melahirkan karya-karya puisi dari para politisi kedua kubu.
Dari kubu penantang, sebut saja karya Fadli Zon dan Neno Warisman. Sementara dari kubu petahana ada puisi karya Romahurmuziy dan Irma Suryani.
Namun benarkah karya para politisi itu benar-benar puisi yang memenuhi kaidah sebuah puisi? Ternyata menurut budayawan Sujiwo Tejo, semua karya tersebut di atas bukanlah puisi yang sebenarnya.
Bagi Sujiwo Tejo, tidak semua sajak yang ditulis dapat disebut sebagai puisi. Dia sebenarnya mengaku enggan mengomentari puisi yang beredar di dunia maya terkait kondisi Pilpres saat ini.
“Itu semua bukan puisi. Melainkan hanya sebuah prosa,” ujarnya seperti dalam kicauannya di twitternya, Sabtu (2/3/2019).
Bagi Sujiwo, prosa memiliki tingkatan yang lebih rendah dari puisi.
“Pilpres seolah memudahkan setiap orang utk jadi penyair. Bikinlah kalimat yang pendek-pendek. Susun berbaris-baris vertikal. Itu sudah disebut puisi. Padahal puisi itu ndak gitu,” bebernya panjang lebar.
Menurut Sujiwo, setiap kata dalam puisi dan konteksnya mesti bermakna macam-macam, yang setiap dibaca ulang maknanya berbeda. Tergantung pada mood pembaca.
“Jika mawar dalam suatu kalimat hanya berarti mawar, bukan berbagai-bagai arti lainnya, itu prosa. Bukan puisi. ‘Aku membawa mawar’ itu prosa. ‘Aku mawar padamu’ itu puisi. Padahal sama-sama kalimat pendek. Nah, di Pilpres, asal kalimat pendek dan baris-barisnya disusun vertikal disebut puisi,” ujarnya.
Oleh karena itulah, Sujiwo mengaku tak pernah komen walau banyak dimention dimintai komen soal puisi karya para politisi tersebut.
“Karena bagiku itu bukan puisi. Itu masih prosa. Taraf yang lebih rendah dari puisi. Pembuat prosa tak perlu genius utk memikirkan makna ganda kata dan musik (bunyi) kata,” imbuh Sujiwo Tejo.