JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Maya Rusady mengaku lembaganya mengalami defisit rata-rata Rp 1,5 triliun. Penyebab kerugian tersebut karena iuran yang dikumpulkan setiap bulannya lebih rendah daripada pembiayaan yang mesti dikeluarkan.
“Average defisit Rp 1,5 triliun per bulan dan kalau kumulatif dari Januari sampai September itu defisitnya Rp 9 triliun serta yang berjalan ada Rp 9 trilun, dengan ada juga potensi inefisiensi yang terjadi,” ujar Maya dalam diskusi di kediaman politikus Golkar Agung Laksono, Jalan Cipinang Cempedak, Jakarta, Kamis, (5/9/2019).
Selisih antara iuran yang ditarik dengan biaya yang perlu dikeluarkan itu memang sudah terjadi sejak tahun pertama BPJS Kesehatan dibentuk. Itu juga tercermin pada grafik tren realisasi besar premi per orang per bulan dengan realisasi biaya per orang per bulan. “Gap-nya terus melebar setiap tahun,” kata Maya.
Dari grafik itu, terlihat besar selisih antara iuran dan biaya per orang per bulan terus membesar. Pada 2014 selisih itu hanya sebesar Rp 1.692. Di tahun berikutnya, gap itu melebar menjadi Rp 3.955 pada 2015, lalu Rp 2.893 pada 2016, Rp 7.960 pada 2017, Rp 10.341 pada 2018, dan Rp 14.012 pada 2019. Angka itu seiring dengan kenaikan jumlah peserta dari 133,4 juta jiwa pada 2014, 156,8 juta jiwa pada 2015, 171,9 juta jiwa pada 2016, 187,9 juta jiwa pada 2017, dan 208,05 juta jiwa pada 2018.
Berdasarkan data tahunan, besar beban yang ditanggung BPJS Kesehatan sejak pertama kali berdiri pada 2014 lalu terus mengalami kenaikan. Pada mulanya beban itu adalah sebesar sekitar 42,06 triliun. Angka itu naik menjadi Rp 57,1 triliun pada 2015, Rp 67,25 triliun pada 2016, Rp 84,44 triliun pada 2017, dan Rp 94,3 triliun pada 2018. Secara kumulatif beban sepanjang 2014-2018 adalah sebesar Rp 345,75 triliun.
Dalam rentang tersebut, pendapatan iuran BPJS Kesehatan juga mengalami kenaikan. Namun, besarnya memang masih di bawah beban yang ditanggung. Pada 2014, iuran yang dipungut total Rp 40,72 triliun. Berikutnya, angka itu menjadi Rp 52,69 triliun pada 2015, Rp 67,4 triliun pada 2016, Rp 74,25 triliun pada 2017, dan Rp 81,97 triliun pada 2018. Atau, secara kumulasi angkanya adalah Rp 317,04 triliun selama 5 tahun.
Selisih yang terjadi inilah, yang menurut Maya, mendorong adanya evaluasi besar tarif iuran. “Karena setiap tahun tidak klop, kalau terjadi solusinya bisa menaikkan iuran, jadi harusnya setiap dua tahun dievaluasi karena berdasarkan data selama ini selalu kurang,” tutur Maya.
Selain penyesuaian tarif iuran, Maya mengatakan langkah yang bisa dilakukan juga menyesuaikan manfaat yang diberikan. Sebab, di Indonesia ada layanan yang sebenarnya di sistem negara lain tidak ditanggung. Misalnya saja untuk perawatan gigi, biaya melahirkan, hingga penyakit-penyakit katastropik.
Dengan cakupan jaminan yang seluas itu, ia meminta semua pihak lebih teliti lagi berapa biaya yang mesti dibayarkan peserta. Adapun kewenangan untuk menghitung besaran itu berada di Dewan Jaminan Sosial Nasional. Solusi lainnya adalah dengan mencari alternatif pembiayaan lain di luar iuran. Misalnya dari pajak atau sumber lain.
Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo memastikan premi iuran untuk peserta mandiri Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan atau BPJS Kesehatan kelas I dan II bakal naik mulai 1 Januari 2020. Ia mengatakan kebijakan tersebut akan diatur dalam peraturan presiden atau perpres.
“Kami akan sosialisasikan dulu kepada masyarakat,” ujarnya saat ditemui seusai menggelar rapat dengan Komisi IX dan XI DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 2 September 2019.
Mardiasmo menjelaskan, besaran kenaikan iuran kelas I dan II sesuai dengan yang diusulkan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sebelumnya, Sri Mulyani meminta iuran kelas I naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu. Sedangkan iuran kelas II naik dari Rp 51 ribu menjadi Rp 110 ribu.
Adapun kenaikan iuran peserta mandiri kelas III masih ditangguhkan lantaran rencana itu ditolak oleh DPR. DPR meminta kenaikan iuran ditunda sampai pemerintah melakukan pembenahan data atau data cleansing bagi peserta penerima jaminan kesehatan nasional atau JKN.
Sesuai hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan tahun 2018, saat ini masih ada 10.654.539 peserta JKN yang bermasalah. DPR khawatir ada masyarakat miskin yang masih terdaftar sebagai peserta mandiri JKN kelas III.