Beranda Wisata Kuliner Soto, Gado-gado, Sate, Rendang dan Nasgor Ditetapkan sebagai Makanan Nasional

Soto, Gado-gado, Sate, Rendang dan Nasgor Ditetapkan sebagai Makanan Nasional

Proses pembuatan gado-gado. Republika.co.id

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM — Indonesia memiliki keanekaragaman diberbagai bidang, mulai dari suku, bahasa, budaya, busana termasuk kuliner. Meski sangat kaya akan keragaman kuliner, Indonesia saat ini belum menjadi surga kuliner dunia.

“Indonesia belum jadi surganya kuliner dan belanja, wisman (wisatawan mancanegara) kalau mau belanja ke Singapura bukan Indonesia,” ujar Menteri Pariwisata RI Arief Yahya dalam pembukaan Wonderful Indonesia Culinary & Shopping Festival (WICSF) 2019, di Jakarta.

Arief mengungkapkan setidaknya ada tiga alasan mengapa Indonesia belum menjadi surga kuliner dunia. Salah satu alasan tersebut adalah Indonesia belum memiliki national food atau makanan nasional.

“Kalau Malaysia punya nasi lemak, Thailand ada tom yam,” lanjut Arief.

Melihat hal ini, Kementerian Pariwisata RI memutuskan untuk memilih lima makanan khas Indonesia menjadi makanan nasional. Kelima makanan tersebut adalah soto, sate, gado-gado, rendang dan nasi goreng.

“Tiga dari lima makanan ini telah ditetapkan oleh CNN sebagai makanan terenak di dunia,” ungkap Arief.

Alasan kedua adalah Indonesia belum memiliki destinasi kuliner. Oleh karena itu, Kementerian Pariwisata RI membuat tiga destinasi kuliner di Indonesia yang akan bersertifikasi UNWTO. Ketiga destinasi tersebut adalah Bali, Yogyakarta dan sekitarnya atau Joglosemar (Yogyakarta-Solo-Semarang), serta Bandung.

Arief berharap ketiga destinasi ini akan mendapatkan sertifikasi UNWTO pada 2020 mendatang. Dengan begitu, ketiga wilayah ini akan menjadi destinasi kuliner berkelas dunia.

“Ketiga, kita tidak punya banyak restoran di luar (negeri),” tutur Arief.

Arief mengatakan beberapa negara memberikan bantuan bagi pengusaha yang membuka restoran di luar negeri. Pemerintah Thailand contohnya, memberikan pinjaman lunak yang setara dengan 100.000 dolar Amerika bagi pengusaha yang membuka restoran Thailand di luar negeri.

Hal serupa belum bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk saat ini karena terbentur oleh keterbatasan anggaran. Akan tetapi, Arief mengatakan Kementerian Pariwisata RI berkomitmen untuk turut mendukung restoran-restoran khas Indonesia yang ada di luar negeri. Salah satunya adalah dengan cara mendukung promosi restoran-restoran Indonesia yang saat ini sudah ada di luar negeri.

“Sebagai gantinya, kami mempromosikan restoran Indonesia yang ada di luar (negeri),” ujar Arief.

Potensi kuliner yang dimiliki oleh Indonesia memang tak boleh disia-siakan mengingat besarnya peluang dari industri kuliner. Dilihat dari segi pariwisata, Arief mengatakan wisatawan mancanegara (wisman) menghabiskan sekitar 1.200 dolar Amerika ketika berwisata, sedangkan wisatawan nusantara (wisnus) menghabiskan sekitar Rp 800.000 hingga Rp 1 juta. Sekitar 30-40 persen dari total spending tersebut dihabiskan untuk kuliner dan belanja.

Dari segi ekonomi kreatif, industri kuliner juga memiliki ukuran yang besar dan pertumbuhan yang selalu double digit. Di antara semua industri ekonomi kreatif, industri kuliner memiliki porsi atau ukuran sekitar 42 persen.

“Diplomasi terbaik untuk ‘menjajah’ dunia adalah diplomasi budaya, terutama diplomasi kuliner,” terang Arief.

www.republika.co.id