SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Fenomena kemunculan jejak peradaban dan makam-makan leluhur di dasar waduk Kedungombo (WKO) saat elevasi waduk mengering, dua hari lalu, mendadak jadi viral dan perbincangan masyarakat.
Beragam komentar pun mencuat mengiringi kisah soal awal muawal pembangunan waduk. Tak sedikit yang mengenang pembangunan waduk yang dianggap bentuk arogansi pemerintahan kala itu karena menenggelamkan dan menggusur warga beberapa desa di tiga kabupaten, Sragen, Boyolali, Purwodadi itu.
Namun tak sedikit pula yang menyikapi positif karena kehadiran waduk Kedungombo juga untuk keberlangsungan pengairan dan kehidupan masyarakat di tiga kabupaten.
Tanggapan itu mencuat dari komentar-komentar yang dilayangkan sejak pemberitaan fenomena kemunculan makam leluhur di dasar WKO yang diunggah JOGLOSEMARNEWS.COM beberapa hari lalu.
Akun Hari Prasetya di kolom komentar menuliskan kisah WKO seolah membangkitkan kembali ingatannya tentang tanah kelahiran leluhurnya di Ngelorok.
Ia menulis “Ngelorog itu kampung kelahiran simbah saya. pernah denger mereka kebanjiran lalu kami pindah ke Miri .. waktu itu saya belum lahir.. cm diceritain”.
Dari portaljawa.com yang merilis berita tentang fenomena makam leluhur WKO di JOGLOSEMARNEWS.COM , juga menuliskan beragam tanggapan soal sejarah kelam pembangunan WKO.
Heru Chanal misalnya melayangkan tanggapan bahwa pembangunan itu memang ada sisi positif dan negatifnya positifnya. Waduk WKO sampai saat ini memang berguna untuk kebutuhan penduduk, baik pertanian maupun wisata.
“Meskipun negatifnya ya memang ada yang dikorbankan yaitu tenggelamnya perkampungan,” paparnya.
Kemudian, Hery Sudaryanto, warga sekitar juga menuturkan ia dan keluarganya adalah korban penggusuran waduk Kedungombo. Kala itu ia mengenang bahwa sawah ladang dan rumah pakdhe mbokdhe serta kakaknya semua digusur untuk WKO.
“Semua digursur di kampung sumber tani Soko Miri Sragen. Tepatnya kidul Gunung Kemukus. Dulu tahun 1988 kura kira sering lewat. Tanah subur banyak kebon buah.. Bahkan ditahun itu burung kepodang burung jalak banyak banget,” tuturnya.
Heru mengungkap bahwa bapaknya kala itu adalah salah satu aktivis.
“Tapi sayang orde baru sangat kuat. Umurku dulu 6 tahun. Jangan sampai terulang lagi ya. Penggusuran paksa.” ucapnya.
Lantas ada Mbah Sadax yang menuliskan tanggapan bahwa makam leluhurnya berada di ujung barat jembatan menuju Gunung Kemukus.
“Di situlah buyutku, eyangku, budheku, pakdheku, bersemayam dikeabadiannya… Smg bahagia di alam sana…” ucapnya.
Di belakangnya, ada nama Rizal Mawardi yang menuliskan bahwa kehadiran Waduk Kedungombo memang diliputi kisah haru dan kontroversi.
“Itu memang benar. Itu semua dampak dari sebuah kebijakan yg di ambil pemerintah. Keputusan yang sulit yg di hadapi pemerintah saat itu,” tulisnya.
Ia mengisahkan pada era tahun 80-an, mayoritas warga di daerah grobogan sempat di landa “paceklik” atau kekurangan pangan.
Banyak warga yang terpaksa mengkonsumsi gaplek tela, itu pun harus membeli di daerah selatan Grobogan ( Sragen, boyolali, dan lainnya).
Dengan penuh pertimbangan, pemerintah kemudian mencarikan jalan keluar bagi rakyatnya. Tujuannya agar bisa terpenuhi kebutuhan panganya secara mandiri.
Akhirnya pemerintah memutuskan untuk membuat waduk ( bendungan ) agar bisa menampung air. Dan bisa di alirkan ke sawah-sawah, dan lahan yang akan digarap oleh masyarakat.
“Suatu keputusan yang berat harus butuh pengorbanan yang besar. Selain dari pada anggaran yang besar yang di keluarkan untuk membangun sebuah waduk. Namun juga pengorbanan masyarakat yg harus di pindahkan,” katanya.
Namun di sebagian perjalanan pembangunan WKO, ada juga kendala dan hambatan. Ada yang mau dipindahkan dengan ganti rugi.
Namun tak sedikit pula yang tidak mau pindah. Akan tetapi pemerintah kala itu
harus punya keputusan yang tegas.
Akhirnya dengan penuh pertimbangan yang matang, pemerintah tetap melanjutkan misinya. Dengan menenggelamkan kurang lebihnya hampir 3 wilayah kecamatan.
Di wilayah yang sekarang berada di tengah bagian dari waduk Kedungombo.
“Dan hasil dari pengorbanan tersebut sekarang dapat menghidupi lebih dari 11 kecamatan. Dari wilayah yg terdampak kekeringan, dan kelaparan dulu.
Kesimpulannya, dari sebuah kebijakan besar yg di ambil pemerintah, ada sisi positif dan ada sisi negatif itu pasti. Ada yang di korbankan, dan ada pula yg di hidupi. Lebih banyak memberikan manfaat, dari pada madzorot,” tuturnya.
Ia juga menyampaikan “Bagi anak cucu yang terdampak penggusuran, atau pemindahan, mohon maaf. Serta terima kasih banyak hingga tak terbatas, semoga amal, dan pahalanya mengalir terus hingga ke anak cucunya”.
“Dan bagi keluarga atau anak cucu, seharusnya bangga, dari pengorbanan nenek moyang kalian, bisa memberikan manfaat. Penghidupan bagi ribuan, nyawa atau warga, yang dulu kelaparan, sekarang bisa makmur sejahtera. Semoga semua dilimpahkan rizkinya oleh Allah SWT.. amin…” tandasnya. Wardoyo