SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Hingga sepekan berlalu, Z (16), siswi SMAN 1 Gemolong Sragen yang menjadi korban teror gegara tak pakai jilbab, hingga kini belum mau masuk sekolah karena masih sakit.
Sementara, Bupati Sragen, Kusdinar Untung Yuni Sukowati berinisiatif menggelar mediasi terkait kasus itu di ruang Citrayasa Rumdin Bupati, Kamis (16/1/2020) pagi.
Mediasi berlangsung tertutup dengan menghadirkan pihak sekolah, orang tua siswi, perwakilan dinas pendidikan Provinsi Jawa Tengah, serta segenap jajaran Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkompinda) Kabupaten Sragen.
Orangtua Z, Agung Purnomo seusai mediasi mengatakan menyatakan anaknya hingga hari ini belum masuk sekolah karena sakit.
Sehingga tercatat sudah sepekan, Z, tidak masuk sekolah sejak kasus teror itu mencuat awal pekan lalu.
“Sampai hari ini, belum masuk. Tapi sudah kami ijinkan. Karena sakit,” paparnya kepada wartawan.
Agung Purnomo menguraikan dari hasil mediasi, ia menyebut bahwa seluruh persoalan sudah selesai. Pihaknya hanya berharap sekolah bisa segera berbenah agar kejadian serupa tidak terulang.
“Harapannya sekolah berubah menjadi lebih baik. Semoga ini jadi pengalaman lah, sebagai pembinaan. Ya memang sikap inteloransi itukan tidak baik dan kita sudah selesaikan semua,” terangnya.
Agung melanjutkan dari mediasi itu, disampaikan dalam waktu dekat pihak sekolah akan menggelar ikrar bersama seluruh warga sekolah.
Ikrar tersebut menyatakan bahwa pihak sekolah memegang teguh Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan menghargai toleransi.
Terpisah, Kepala Cabang Dinas (KCD) wilayah Jateng VI, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah, Eris Yunianto memastikan bahwa mediasi itu menegaskan bahwa persoalan di SMAN 1 Gemolong sudah selesai.
Dari pertemuan itu, diharapkan menjadi evaluasi bagi semua pihak untuk memperbaiki banyak hal.
Ia juga mengimbau agar semua pihak di jajaran satuan pendidikan agar mengedepankan bahwa dasar negara kita adalah Pancasila.
“Landasan ideologi itu harus diperkuat kembaki. Supaya anak-anak kita nanti bisa menjadi generasi yang toleran, pancasilais, menghargai keragaman dan perbedaan pendapat dengan orang lain,” tegasnya.
Menurutnya, yang dibutuhkan sekarang adalah tindak lanjut pihak sekolah untuk memperbaiki.
Terkait ikrar, pihaknya menyerahkan pada pihak sekolah. Dirinya hanya berharap ikrar tersebut keluar dari hati terdalam dan bukan karena paksaan.
Karena titik beratnya bukan pada tataran seremonial, namun bagaimana membangun persamaan persepsi dan komitmen untuk bersama-sama memperbaiki ekosistem.
Agar terbangun ekosistem yang mendukung interaksi siswa untuk saling menghargai, menghormati dan mendorong tumbuhnya toleransi.
“Kalau benar dari hati untuk saling menghargai dan memperbaiki ekosistem sekolah, Insyaallah bisa jalan. Kami selaku pemangku kewenangan tugas kami memantau, memandu bagaimana progresnya,” tandas Eris. Wardoyo