Beranda Umum Opini Sejenak Melepas Jubah Kebesaran

Sejenak Melepas Jubah Kebesaran

Komunitas Ashoco Sragen saat menyerahkan bantuan APD baju hazmat ke Bupati Sragen, Kamis (23/4/2020). Foto/Wardoyo
Hamdani MW, Jurnalis dan Cerpenis

Dalam budaya Jawa, terdapat ungkapan Bener Ning Ora Pener. Artinya kira-kira adalah, seseorang yang seolah merasa telah berbuat benar, namun sesungguhnya kurang tepat.

Kriteria kurang tepat ini memiliki konteks yang luas, misalnya dinilai dari cara penyampaiannya, tidak tepat waktu pengungkapannya, atau konteks yang lain lagi, sehingga memunculkan sesuatu yang kurang baik bagi orang lain.

Kali ini, izinkanlah saya mengubah ungkapan tersebut menurut versi saya menjadi Pener Ning Ora Bener. Secara bebas, artinya kira-kira, perbuatan seseorang yang sudah memiliki arah dan tujuan (pener), namun cara-cara yang digunakannya tidak dapat dibenarkan, baik secara regulasi maupun etika.

Kasus bantuan sosial bagi terdampak Covid-19 berstiker Bupati Klaten yang sempat sempat membikin heboh, kira-kira persis seperti ungkapan dadakan ini. Pener ning ora bener.

Pener,  jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dapat diartikan dengan mengarah pada satu tujuan, atau tepat. Ada sebuah titik yang dituju dan target yang hendak dicapai. Apa yang dilakukan oleh Bupati Klaten tersebut sebenarnya memiliki sebuah tujuan yang hendak dicapai.

Jika kita menggunakan โ€œkaca mata kudaโ€, langkah itu sudah pener, sudah fokus pada satu pamrih dan tujuan, tanpa melihat kiri kanan dan tanpa mempertimbangkan rambu-rambu di sekitar.

Siapapun tentu tak dapat membantah bahwa pemasangan stiker dalam bantuan sosial tersebut tak mungkin tanpa sebuah tujuan tertentu. Apalagi, masa ini adalah menjelang pelaksanaan Pilkada 2020, meski akibat virus Corona (Covid-19), ajang tersebut terpaksa harus diundur entah sampai kapan.

Dalam konteks suasana menjelang Pilkada inilah, wajar jika masyarakat dan netizen menjadi heboh. Orang banyak menganggap Bupati Klaten โ€œsedang bermainโ€, tengah menarik simpati masyarakat guna kepentingan  Pilkada 2020.

Kita juga tidak bisa menyalahkan masyarakat yang menilai bahwa pemasangan stiker di bantuan sosial, termasuk bantuan sosial dari Kemensos yang dipasangi stiker Bupati Klaten itu, sebagai bentuk pencitraan diri demi tujuan Pilkada.

Namun apakah tindakan tersebut sudah bener dan dapat dibenarkan dari sisi etika sosial maupun regulasi? Cobalah untuk sejenak โ€œkaca mata  kudaโ€ itu kita lepas.

Mestinya Tindakan Mulia

Memberikan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan tentu merupakan tindakan mulia. Apalagi jika bantuan tersebut diberikan dengan tanpa pamrih tertentu, termasuk pamrih nama baik.

Seorang bupati, walikota atau gubernur adalah pejabat yang dipilih oleh Rakyat. Mereka adalah pengayom masyarakat. Maka sudah layak dan sepantasnya bila mereka memberikan bantuan kepada masyarakat yang diayominya.

Apa yang diberikannya kepada masyarakat adalah hal yang wajar dan sudah sepantasnya dilakukan, karena sudah menjadi tanggung jawabnya. Ini tentu selaras pula dengan konsep bahwa pemimpin tak ubanya pelayan rakyat. Selain menjadi pengayom, seorang pemimpin hendaknya rela melayani rakyatnya.

Sebagai seorang kepala daerah, maka tugas, jabatan dan tanggung jawab mereka selalu melekat pada seluruh tindakan keseharian. Status itu tidak dapat dilepaskan, sepanjang yang bersangkutan masih menjabat.

Sebenarnya membantu tanpa pamrih dapat dilakukan dengan tanpa kata-kata. Memberi tanpa meminta balas jasa atau berharap imbal balik dari tindakannya. Memberi dengan niat rela kehilangan, tanpa berharap kembalian.

Dalam konteks ini, pamasangan stiker pada bantuan sosial tersebut rasanya kurang dapat dibenarkan. Kurang etis dan melukai rasa kemanusiaan. Tidak benar dan tidak pada tempatnya (ora bener lan ora pantes).

Sementara dari sisi regulasi, konteks ini dapat dilihat pula dari Undang-undang No. 10/2016 tentang Pilkada.

Pada Pasal 71 ayat (3) terdapat klausul yang berbunyi: Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan program dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, baik   di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.

Dari cuplikan regulasi ini saja, sebenarnya masyarakat sudah dapat menilai, apakah pemasangan stiker oleh kepala daerah pada bantuan (apalagi pada bantuan yang bukan berasal dari dirinya sendiri), dapat dibenarkan atau tidak.

Sukarelawan

Di sisi lain, di tengah wabah pandemi virus Corona ini, banyak relawan bermunculan memberikan bantuan cuma-cuma kepada pemerintah, tenaga medis, maupun masyarakat yang membutuhkan. Bantuan mereka berikan selaras dengan latar belakang, kemampuan dan perannya masing-masing.

Yang seniman menciptakan lagu untuk membangkitkan motivasi masyarakat yang tengah terpuruk. Ada pula pengusaha butik tergerak membuat baju Alat Perlindungan Diri (APD) bagi tenaga medis maupun masker kain bagi masyarakat yang membutuhkan. Masih banyak lagi sukarelawan yang memberikan bantuan dalam bentuk apapun, sekecil apapun dan yang mungkin tidak terpantau.  

Bantuan-bantuan tersebut mereka berikan tanpa dilambari pamrih apapun, sepi dari spanduk dan backdrop, jauh dari kibaran bendera maupun stiker yang menunjukkan eksistensi mereka.

Sekali lagi, jabatan kepala daerah memang melekat pada sosok yang bersangkutan. Namun, melihat dari semangat dan keikhlasan para relawan dalam berbagi bantuan untuk sesama, ada satu tantangan yang perlu dijawab.

Beranikah para kepala daerah memberikan bantuan sosial dengan melepaskan jubah kebesarannya? Kalau memang mau dan punya niat, selalu ada jalan bagi mereka untuk sejenak turun dari tahta dan menjadi rakyat biasa yang berbagi pada sesama.

Yakinlah, tanpa menonjolkan eksistensi diri, kebaikan Anda tidak cuma bergaung di media massa atau media sosial, tapi akan dicatat dalam buku kehidupan dan senantiasa bergema di dalam hati setiap insan. (*)

Hamdani MW

Jurnalis dan Cerpenis