SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM – Setelah sempat viral dan menyita perhatian publik, keberadaan rumah hantu untuk isolasi pemudik bandel di Desa Sepat, Masaran, Sragen kembali menuai perhatian warga.
Pasalnya, setelah sempat menahan tiga pemudik bandel hingga ampun ampun karena didatangi hantu, hari ini tadi, rumah kosong yang disediakan untuk isolasi paksa itu kembali terisi.
Kali ini, seorang warga pendatang asal Semarang terpaksa dijebloskan ke rumah hantu lantaran kedapatan menginap di rumah salah satu warga tanpa izin petugas maupun Satgas Covid-19 desa setempat.
Pendatang bernama Rochmadi itu ditangkap dan dibawa ke rumah hantu pada Minggu (3/5/2020) malam. Dia diamankan setelah ada laporan dari warga perihal keberadaannya yang menginap tanpa izin.
“Kejadiannya semalam, ada laporan bahwa ada pendatang yang menginap di rumah salah satu warga. Kita langsung cek, sekitar pukul 3 dini hari kita minta untuk tinggal sementara di rumah isolasi ini,” ujar salah satu anggota Satgas COVID-19 Desa Sepat, Ishariyanto, Senin (4/5/2020).
Saat ditanyai petugas, pendatang bernama Rochmadi tersebut mengaku datang ke Desa Sepat untuk bekerja.
Rochmadi kemudian beralasan bahwa dirinya berbisnis kerajinan keset dan kedatangannya ke desa tersebut untuk mengantar bahan baku.
Bahan baku ini kemudian digarap warga, dan disetorkan kembali ke Rochmadi untuk dipasarkan. Namun ia ternyata tak memahami situasi pandemi covid-19 dan aturan desa yang meminta semua pendatang melapor dan karantina mandiri 14 hari.
“Jadi memang dia ada rencana menginap beberapa hari di rumah salah satu warga untuk menunggu kesetnya jadi. Padahal selama ini kesepakatannya seluruh pendatang wajib melapor dulu ke Satgas COVID-19 Desa. Agar bisa kita cek kondisinya dan memastikan proses karantinanya, sebagai antisipasi penyebaran virus Corona,” kata Ishariyanto.
Ishariyanto menguraikan setelah dijemput tim Satgas Covid-19, pria itu kemudian dimasukkan ke rumah hantu.
Hal itu juga merupakan kesepakatan bersama antar warga. Selama pandemi covid-19, warga memang sudah sepakat bagu warga Desa Sepat yang mudik, memang diberikan kesempatan untuk karantina mandiri di rumah masing-masing selama 14 hari.
Jika membandel dan nekat keluyuran, maka sanksinya langsung dimasukkan di lokasi karantina paksa milik Desa Sepat tersebut.
“Namun untuk kasus Rochmadi ini, dirinya bukan warga Sepat, memang di sini dalam rangka pekerjaan selama beberapa hari. Jadi untuk mencegah resiko penularan virus Corona, mengingat dirinya adalah orang luar kota, kami tempatkan di rumah karantina desa,” terang Ishariyanto.
Kepala Desa Sepat, Mulyono menambahkan, rumah karantina khusus milik Desa Sepat tersebut memang bertujuan untuk meminimalisir potensi penyebaran COVID-19 terutama dari warga pendatang.
Langkah melakukan karantina ini sudah menjadi keputusan bersama warga, Pemdes dan Satgas Covid-19 yang harus ditaati. Menurutnya ide rumah hantu itu sebenarnya lebih pada mendisplinkan warga utamanya pemudik dan pendatang untuk taat karantina, dan bukan untuk menyengsarakan.
“Jadi yang bersangkutan akan di sini sampai pekerjaannya selesai. Nanti hasil kerajinan warga akan disetor kepadanya dan yang bersangkutan akan pulang ke kota asalnya. Yang jelas di rumah karantina ini, kita tanggung kebutuhannya. Ini demi kebaikan seluruh warga,” urai Mulyono.
Rumah karantina khusus milik Desa Sepat ini memang sempat ramai diperbincangkan.
Lokasi yang menggunakan bekas gudang ini disebut warga sebagai rumah hantu karena sudah hampir 10 tahun tak berpenghuni.
Sudah tiga pemudik yang sempat menempati rumah ini, karena tertangkap basah Satgas COVID-19 Desa, melanggar aturan karantina mandiri selama 14 hari. Mereka kemudian dilepaskan setelah sempat menghuni 5 dan 6 hari serta menangis karena ketakutan beberapa malam didatangi hantu. Wardoyo