Beranda KOLOM THE NEW NORMAL

THE NEW NORMAL

ILustrasi virus corona atau Covid-19. Pixabay
ILustrasi virus corona atau Covid-19. Pixabay


Oleh :
Dhimam Abror Djuraid
*
Wartawan Senior

Tepat pada saat umat Islam merayakan Idul Fitri (24/5), harian The New York Times edisi Minggu menampilkan di halaman depan nama-nama 100 ribu korban meninggal akibat Covid 19. “An Uncalculable Loss”, sebuah kehilangan yang tak terhitungkan, begitu tulis The New York Times.

Para korban itu bukan sekadar deretan nama-nama atau angka statistik tanpa makna. Daftar itu menunjukkan bahwa kita semua berada pada masa kelam peradaban manusia yang ternyata rapuh dan rentan.

Pada saat yang bersamaan, Jawa Pos di Surabaya terbit dalam edisi khusus lebaran menurunkan seri ke-16 features mengenai almarhum Didi Kempot. Serial itu bersambung sampai ke edisi ke-20, dan masih terlihat akan bersambung lagi.

Kalau benar kata McLuhan (1964) bahwa media adalah cermin masyarakat, the mirror of society, maka inilah kondisi real yang sedang terjadi di sekitar kita. Perdebatan antara yang pro dan kontra terlihat jelas. Ada yang tegas mengatakan belum saatnya pengendoran lockdown. Di sisi lain desakan sangat besar untuk segera move on menapaki the new normal.

Banyak yang menuding media memberitakan pandemi Covid 19 secara berlebihan sehingga menyebabkan histeria, ketakutan, masyarakat luas. Media terlampau membesar-besarkan bahaya virus itu. Bahkan, media juga menjadi bagian dari sebuah konspirasi besar.

Akibat dari pemberitaan yang berlebihan itu masyarakat menjadi takut berlebihan, sampai tidak berani keluar rumah dan lebih memilih mengunci diri di rumah. Ketakutan berlebihan itu memberi justifikasi kepada kekuasaan untuk menerapkan kebijakan lockdown dan memberangus kebebasan dan kemerdekaan masyarakat. Begitu tudingannya.

Ujungnya akan terjadi perselingkuhan antara pemodal dan penguasa untuk mengeksploitasi histeria massa ini untuk menangguk keuntungan finansial besar dari berbagai proyek pengadaan peralatan kesehatan, obat-obatan, pengadaan vaksin, dan berbagai proyek berbiaya besar atas nama perang melawan pandemi.

Karena itu, demikian teori konspirasi ini, media jangan over-expose terhadap pandemi ini. Jangan menakut-nakuti publik dengan berbagai berita mengerikan mengenai kematian korban tiap detik, tiap jam, tiap hari. Berikanlah optimisme dan pengharapan kepada publik, berikanlah berita-berita yang menghibur. Maka, muncullah, antara lain serial Didi Kempot 20 hari berturut-turut.

Media selalu dipandang dengan kacamata hate and love relation, benci tapi rindu. Media selalu dianggap sebagai panasea, obat dari berbagai macam penyakit. Jika ada problem apapun paling mudah menyalahkan media. Tetapi, sangat jarang media mendapat kredit dari satu keberhasilan atau capaian.

Dalam perspektif “Uses and Gratification”, publik akan memakai media sesuai dengan persepsi kebutuhanya. Jika media bisa memenuhi kebutuhan publik maka media akan dipakai. Jika publik ingin berhati-hati terhadap wabah Covid 19 dan media menyediakan informasi itu, maka publik akan membaca media tersebut. Sebaliknya, jika publik tak acuh dengan wabah dan lebih asyik membaca Didi Kempot, maka media yang menyediakannya akan dibaca publik sesuai kebutuhannya.

Filosof dan ekonom India, Amartya Sen (1999) menegaskan bahwa bencana kemiskinan dan kelaparan tidak terjadi di negara demokratis yang mempunyai pers bebas. Studinya membuktikan bahwa kelaparan masif di India dan Afrika pada 1970-an terjadi bukan karena tidak ada stok makanan, tapi karena maladministrasi, salah urus, karena tidak ada mekanisme kontrol, termasuk dari pers.

Sen membantah “Hipotesa Lee” dari mendiang Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, yang menyatakan bahwa untuk bisa membangun maka butuh pemerintah yang kuat, oposisi dan pers harus dikontrol. Pandangan pragmatis Lee ini memunculkan paradigma pembangunan “Developmentalism” yang di Indonesia diadopsi menjadi “Pembangunanisme” Orde Baru.

Mazhab Developmentalism mempertanyakan mana yang harus diprioritaskan antara pembangunan fisik dan pembangunan demokrasi, dengan asumsi keduanya tak bisa dicapai bersama-sama. Maka mazhab Developmentalism dengan tegas memilih pembangunan fisik dengan ongkos pembangunan demokrasi. Singapura sukses menerapkan mazhab ini, Indonesia gagal total.

Rezim Jokowi mere-adopsi konsep ini dengan menerapkan “Neo-developmentalism” dengan fokus utama pembangunan infrastruktur dengan ongkos pembangunan demokrasi yang harus dipinggirkan. Oposisi politik dieliminasi dan kritik media direspons secara opresif. Ancaman terhadap jurnalis senior Farid Gaban yang mengkritisi kebijakan Menteri UKM, adalah wujud dari politik Neo-developmentalism.

Sen, mempunyai mazhab yang berbeda. Ia memperkenalkan konsep “Development as Freedom” (1998), pembangunan sebagai kebebasan, membangun ekonomi sekaligus membangun kebebasan demokrasi. Dalam hal ini, pers bebas dan independen menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pembangunan melalui mekanisme kontrol sosial.

Pandangan ini terasa relevan dalam kondisi pandemi saat ini. Pers yang bebas dan independen akan menjadi early warning system, sistem peringatan dini, sekaligus kontrol terhadap pelbagai penyelewengan kebijakan.

Ironisnya, pers sendiri bisa menjadi korban pandemi. Ibarat paku yang mengunci peti mati, nail in the coffin, media bisa ikut terkubur bersama kematian ekonomi akibat pandemi ini. Karena itu, menjadi tanggung jawab masyarakat dan negara supaya media tetap survive agar bisa memainkan peran sebagai pengontrol kebijakan sekaligus melakukan diseminasi optimisme dalam situasi the new normal.

Ketakutan yang berlebihan akan membunuh ekonomi. Sebaliknya keterbukaan yang tidak terkontrol akan membunuh semakin banyak rakyat.

Setelah Idul fitri lewat, Masyarakat sudah tidak sabar untuk balik ke kehidupan normal lagi. Masyarakat seolah sudah tidak peduli lagi terhadap pandemu. Masyarakat tidak peduli bahwa penyakit mematikan itu masih ada di sekitar kita.

Jalanan penuh sesak dimana-mana. Pengunjung mal membludak. Pasar-pasar penuh dengan pedagang yang berdesakan dengan pembeli. Masjid dan musola penuh dengan jamaah.

Rasanya perang sudah dianggap selesai. Bukan hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Belum tahu siapa pemenangnya. Tapi, sudah ada gencatan senjata untuk hidup berdampingan secara damai dengan musuh yang tidak terlihat itu.

Kita harus belajar secara teliti supaya tidak berakibat fatal dalam mengambil langkah. Herd immunity gagal di Swedia. Taiwan, bukan anggota WHO, tapi sukses mengatasi pandemi. Jepang yang standar tradisi kebersihannya tinggi terbukti sukses mengatasi pandemi.

Amerika tidak menerapkan lockdown total, dan sekarang sudah sangat bernafsu untuk membuka diri kembali. Kebijakan ini memicu pro-kontra yang sangat dalam, dan New York Times menentangnya dengan memaparkan daftar 100 ribu nyawa yang telah melayang.

Indonesia harus berhati-hati, karena tiap negara mempunyai problem yang berbeda. Masih harus dikaji serius apakah bonus demografik akan membantu Indonesia mengatasi krisis dengan membebaskan usia produktif untuk bekerja kembali. Tidak ada studi komprehensif yang mendukung pandangan ini.

Jepang mempunyai postur demografik seperti piramida terbalik dengan jumlah tenaga produktif berada di bawah dan harus mendukung orang-orang tua non produktif yang jumlahnya jauh lebih besar.
Faktor budaya menjadi kunci sukses Jepang. Standar higenitas tinggi, budaya kebersihan tinggi, budaya memakai masker sudah lama diterapkan setiap musim flu, dan budaya melepas sepatu saat masuk rumah masih diterapkan secara luas.

Dan, yang tak kalah penting, orang Jepang rata-rata tidak suka banyak omong di tempat umum, dan karena itu risiko droplet dari air ludah yang muncrat lebih kecil. Inilah yang menjadi faktor rendahnya tingkat penularan.

Amerika terserang obesitas nasional yang parah. Satu dari empat orang dewasa Amerika masuk kategori obes. Presiden Trump berusia 71 tahun, tinggi badan 1,90 meter, dan berat badan 108 kilogram jelas masuk kategori obes. Karena itu Amerika masuk negara berisiko tinggi.

Wilayah Afrika relatif rendah tingkat risikonya karena virus mengalami mutasi kecil sehingga ada kemungkinan tidak seganas di wilayah lain. Ada kemungkinan cuaca yang panas menjadi faktor pembeda. Mudah-mudahan ini menjadi kabar baik bagi Indonesia.

Sambil menunggu vaksin ditemukan dan sistem pelayanan kesehatan ditingkatkan, masyarakat terlihat sudah tidak sabar untuk kembali ke new normal. Sampai sekarang belum ada satu vaksin pun yang ditemukan. Salah satu studi mengenai kekebalan justru membuktikan bahwa kekebalan hanya bertahan enam bulan dan bisa kambuh lagi.

Dua minggu ke depan akan menjadi “the moment of truth” bagi Indonesia. Terjadi ledakan warga sebelum lebaran di pelbagai pasar dan pusat perbelanjaan, juga terjadi ledakan interaksi warga di saat lebaran, yang menimbulkan kekhawatiran akan bermunculan klaster-klaster baru, sampai-sampai banyak yang angkat tangan dan berteriak, “Terserah”.
Mudah-mudahan tidak terjadi. (*)