SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM -Keberadaan tembok yang didirikan menutup jalan warga di Kampung Ngledok, Desa Gading, Tanon, Sragen akhirnya berakhir.
Dua tembok penutup jalan dari herbel setinggi satu meter yang didirikan Mbah Sonem (60) dan sempat viral itu akhirnya dibongkar rame-rame oleh warga, Selasa (4/8/2020) siang.
Meski demikian, kasus itu sempat menarik perhatian luas dari publik. Kenekatan Mbah Sonem dan keluarganya mendirikan tembok di tengah jalan, banyak dinilai sebagai tindakan di luar kewajaran sosial.
Lantas mengapa Mbah Sonem dan keluarga nekat melakukan itu? Saat hadir di lokasi, Mbah Sonem ngotot bahwa tidak terima jika pekarangannya hampir 3 meter digunakan untuk jalan.
Ia kekeh jika pembangunan jalan itu tanpa izin dan sepengetahuannya.
“Kula mboten purun (dibongkar) wong kula mpun lapor Pak Lurah. Ini masih tanahnya mbahe tapi dikasihkan saya. Kudune kalau mau bangun jalan taren kula, lha gak taren ya saya tutup. Saya mau dibuat jalan manut, tapi ya nggak trus 3 meter,” paparnya di hadapan warga.
Dari hasil penelusuran ke warga, Mbah Sonem dan keluarga dikenal memang punya perangai agak istimewa di mata masyarakat. Mereka juga dikenal sebagai keluarga yang tajir dan terbilang sukses.
Hampir semua anggota keluarga trah To Pawiro (ayah Sonem), punya usaha dan ekonomi yang mapan.
“Keluarga mereka sukses semua dan punya banyak usaha. Ada yang juragan lombok ada yang buka usaha lainnya. Semua sukses. Mobilnya sampai ada yang punya dua,” ujar Yanto, salah satu warga kepada JOGLOSEMARNEWS.COM , Rabu (5/8/2020).
Kemudian, Mbah Sonem dan kerabatnya mayoritas juga tidak tinggal di Dukuh Ngledok. Namun mereka tinggal di luar dukuh itu meski masih di desa yang sama.
Hal itulah yang diduga membuat mereka berani menutup jalan dengan tembok hanya karena merasa tidak dihargai dan diajak rembugan saat mbangun talud jalan oleh warga Ngledok.
Bahkan meski sudah dimediasi dan disepakati tembok harus dibongkar, semula Sonem tetap ngotot minta mendatangkan petugas ukur untuk memastikan pekarangannya yang dipakai untuk jalan.
Kemudian Kades Gading, Puryanto menjelaskan bahwa dirinya mengizinkan Sonem menutup jalan karena sempat putus asa menghadapi kengototan Sonem dan keluarga yang mengklaim meminta kembali tanah pekarangan yang dibangun jalan.
Namun dia kemudian meluruskan bahwa hasil pengecekan di sertifikat milik (alm) To Pawiro (ayah Sonem) dan sertifikat milik Parno yang ada di sebelahnya, ternyata semua mencantumkan gambar jalan yang dipersoalkan itu.
Sehingga dengan fakta itu, akhirnya dilakukan mediasi dan telah disepakati bahwa jalan yang saat ini lebarnya sekitar 3 meter, akan dibuat jadi 2 meter. Dua meter itu diambilkan satu meter dari pekarangan Mbah Sonem dan pekarangan Parno.
Dengan begitu, tembok herbel yang dibangun nutup jalan akhirnya dibongkar dua meter dan menyisakan satu meter di sisi pekarangan Mbah Sonem.
“Jadi jalan itu dari dulu sudah ada. Di sertifikat juga sudah ada gambarnya. Kalau jenengan (Mbah Sonem) nutup jalan, ya nggak boleh. Makanya ini harus dibongkar,” papar Kades dengan nada tinggi.
Karena terdesak, Mbah Sonem pun akhirnya tak bisa berargumen lagi. Dia pun pasrah ketika warga membongkar dua tembok herbel selebar dua meter yang sempat menutup jalan.
Pembongkaran juga disaksikan Ketua RW, Babinsa dan Bhabinkamtibmas. Warga kemudian rame-rame menghancurkan tembok herbel itu dengan peralatan yang ada.
Kades Puryanto juga mengakui jika keluarga Mbah Sonem memang terbilang sebagai trah yang mapan dan terpandang dari sisi ekonomi.
Persoalan jalan tembus di Ngledok yang melewati pekarangan Mbah Sonem, sebenarnya juga sudah diupayakan untuk dicari solusi.
Namun beberapa kali keluarga Mbah Sonem masih ngotot bahwa merasa jalan selebar tiga meter itu memakan pekarangan mereka semua.
“Padahal di sertifikat jelas ada gambar jalannya. Kemarin dari warga sampai bilang kalau mengikhlaskan untuk jalan, tanah yang semeter itu mau dibeli warga, mereka nggak mau. Terus dibilangi kan pekarangan itu masih atas nama mbahe (alm To Pawiro), yang satu meter seandainya diikhlaskan untuk jalan biar jadi amal jariyah mbahe di sana, tetap ndak mau juga. Tapi setelah dimediasi di balai desa dengan Muspika, akhirnya disepakati jalan tetap dipertahankan tapi lebarnya dikurangi menjadi 2 meter saja diambilkan dari pekarangan kanan kiri. Jadi temboknya yang dua meter dibongkar untuk jalan dan yang satu meter dibiarkan,” urai Kades. Wardoyo