SEMARANG, JOGLOSEMARNEWS.COM – Karya seni tidak selamanya lahir dari tangan seorang seniman. Karya seni bahkan bisa lahir dari seseorang yang sebelumnya tak pernah bersentuhan dengan dunia seni.
Pambuko Septiardri memang tak pernah bersentuhan dengan dunia seni, apalagi seni wayang atau pedalangan. Namun bersama dua orang temannya, dia berhasil menelurkan seni wayang yang dinamainya Wayang Gaga.
Wayang Gaga merupakan salah satu kelompok kesenian kontemporer yang berbeda dari wayang pada umpumnya. Beda dari wayang kulit, wayang wahyu, wayang tengil, wayang klitik, wayang golek atau wayang wong.
Ia malah mendekati wayang suket sebagaimana yang telah dikembangkan lebih dulu oleh mendiang Ki Slamet Gundono dari Solo.
Hanya saja, Wayang Gaga ini dibuat dari bahan yang lebih lengkap. Mengambil dari hasil-hasil kebun yang ada untuk dijadikan tokoh-tokoh wayang.
“Kesenian Wayang Gaga ini kita buat tahun 2014, dan baru memiliki legalitas formal tahun 2019,” ujar Pambuko saat bincang.
Pambuko mengatakan, nama wayang Gaga diambil dari nama daerah tempat dibentuknya, yaitu Kampung Gaga, yang saat ini berubah nama menjadi Jalan Umbulsari. Lokasinya berada di Kecamatan Mijen, Kota Semarang.
Dalam bahasa Jawa, nama Gaga mempunyai arti kebun. Hal ini berhubungan dengan bahan pembuatan wayang yang dibuat dari hasil kebun.
Hasil kebun yang digunakan sebagai bahan pembuatan wayang Gaga biasanya berupa pelepah pisang, daun singkong, akar, rumput dan lain-lain.
Wayang Gaga, bagi Pambuko menjadi wadah untuk mengasah kreativitas dan moralitas anak. Selin itu juga untuk mendekatkan anak dengan lingkungan alamnya.
“Seni dapat diciptakan dengan cara yang sederhana dan dengan bahan-bahan sederhana di sekitar kita,” katanya.
Dalam hal ini, ujar Pambuko, anak-anak juga dilibatkan dalam proses pembuatan wayang. Bahkan tidak jarang, bentuk dari tokoh wayang Gaga itu juga berasal dari kretivitas dan imajinasi anak-anak.
“Anak-anak kita bebaskan membuat bentuk wayang sesuai dengan apa yang mereka inginkan,” ujar Pambuko.
Pambuko memang bukan orang seni dan tidak memiliki keturunan darah seni. Namun konsep seni yang digulirkannya cukup fenomenal dan menukik.
Semula, Pambuko adalah seorang guru olahraga. Melihat perkembangan zaman yang demikian pesat dapat mempengaruhi pergaulan anak, muncullah ide untuk terjun ke dalam seni pertunjukan.
“Wayang Gaga hadir ketika saya merasakan moral anak-anak mulai terkikis. Jadi saya mencari media yang manarik serta mengedukasi anak-anak dan masyarakat umumnya untuk lebih mengenal kesenian,” ujar Pambuko.
Salah satu keunikan yang dimiliki Wayang Gaga adalah sifatnya yang kolaboratif. Mampu menggabungkan unsur kontemporer dengan musik keroncong yang jarang dilakukan oleh kesenian wayang pada umumnya.
Meskipun begitu, Wayang Gaga masih mengikuti pakem kesenian wayang yang sudah ada. Seperti adanya pemain musik, dalang dan pemain wayang.
Pambuko bercerita, grup kesenian Wayang Gaga pernah melakukan pementasan-pementasan yang cukup besar. Bahkan Wayang Gaga pernah berkolaborasi dengan kelompok kesenian dari Jepang.
“Saat itu menampilkan kebudayaan Jepang yang dikemas dalam pertunjukan Wayang Gaga,” ujarnya.
Pambuko menegaskan, Wayang Gaga bukan sebuah industri. Namun, kesenian itu lebih pada kecintaan dan hobi semata.
“Jadi bukan industri, ini benar-benar murni sebuah kecintaan terhadap kesenian,” akunya.
Grup kesenian Wayang Gaga, bagaimana pun juga butuh dana untuk menghidupi dirinya sendiri. Selama ini, pemasukan dana hanya mengandalkan dari kas yang diperoleh dari penjualan pernak-pernik berbentuk wayang dan batik celup yang diproduksi sendiri.
Selama pandemi Covid-19, menurut Pambuko, Wayang Gaga tetap aktif. Hanya saja, bukan aktif dalam pertunjukan secara langsung, melainkan lebih pada riset terhadap Wayang Gaga ke depannya. lupita – wandani